Sabtu, 30 April 2011

Surabaya Sue Alias K'tut Tantri, Sang Pahlawan Yang Terlupakan

Kisah-kisah menakjubkan yang terpapar di memoar ini terjadi karena sebuah koinsidensi di suatu sore pada 1932 yang dingin diguyuri hujan. Ketika itu, seorang perempuan berdarah Skotlandia yang hijrah ke Amerika sedang gundah dengan dirinya sendiri. Ia pun berjalan-jalan di Hollywood Boulevard. Di depan sebuah bioskop, perempuan ini memutuskan untuk membeli karcis dan menyaksikan sebuah film berjudul, Bali: The Last Paradise.



Sekeluarnya dari bioskop, perempuan itu seperti menemukan hidup. Hanya beberapa menit seusai film itu kelar ditonton, ia sudah punya keputusan bulat: pergi dan menetap di Bali. Beberapa bulan berselang, dengan mengendarai mobil yang dibelinya di Batavia, ia tiba di Surga Terakhir yang diimpikannya. Ia bersumpah baru akan turun dari mobil hanya ketika mobilnya kehabisan bensin. Dan disanalah ia berjanji akan tinggal. Mobilnya berhenti persis di depan sebuah istana raja yang ia sangka sebuah pura.

Hati-hati ia masuki istana itu. Perempuan itu akhirnya disambut oleh sang raja dan seperti sebuah dongeng, ia diangkat menjadi anaknya yang keempat dan ia dinamai: K’tut Tantri. Surabaya Sue, begitu pers di Singapura, Australia dan di belahan bumi lain mengenalnya.

Julukan itu tersampir di pundaknya karena pilihan sadarnya untuk lebih memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total. Di Surabaya ia dikenal sebagai penyiar dari radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo. Ketika di Surabaya pecah pertempuran November yang gila-gilaan dan tak seimbang itu, ia berada ditengah para pejuang Indonesia yang sedang kerasukan semangat kemerdekaan.

Perkenalannya dengan dunia politik sendiri dimulai oleh diskusi-diskusinya yang intens dengan Anak Agung Nura, putra tertua Raja yang mengangkatnya anak. Nura adalah pangeran Bali yang pernah mengecap pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg di Jerman.


Ketika Jepang mendarat di Bali, ia berhasil meloloskan diri ke Surabaya. Di sana, ia mulai menjalin kontak dengan sejumlah orang yang bersimpati pada gerakan anti-Jepang. Ketika akhirnya ia tertangkap, interogasi berbulan-bulan lamanya mesti ia hadapi. Ia ditanyai soal aktivitas bawah tanahnya. Berkali-kali ia disiksa. Ia bahkan nyaris dieksekusi. Sekali waktu ia terkapar nyaris mati. Tapi ia tetap bungkam. Karena kesehatannya yang anjlok ke titik ternadir, ia pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah ia mendengar kabar di proklamasikannya kemerdekaan.

Aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk tak mangap selama interogasi membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Ia diberi pilihan: kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan pejuang Indonesia.

Dan Ktut Tantri memilih pilihan kedua. Ia dipercaya untuk mengelola siaran radio perjuangan. Suaranya mengudara tiap malam. Ketenarannya membikin sebuah faksi tentara Indonesia menculiknya dan memintanya untuk siaran di radio gelap yang mereka kelola sebelum kemudian anak buah Bung Tomo berhasil membebaskannya.

Sewaktu pemerintahan Indonesia pindah ke Jogja, K’tut Tantri pun pindah ke Jogja. Di sana ia bekerja pada kantor Menteri Pertahanan yang ketika itu dijabat oleh Amir Syarifuddin. Ia pernah menuliskan pidato Soekarno. Sekali waktu ia menjadi seorang agen spionasi yang berhasil menjebak sekomplotan pengkhianat.

Marabahaya tentu saja merajalela di mana-mana. Dialah satu-satunya perempuan yang berkeliaran di jantung Jogja yang pekat oleh bau mesiu itu. Ketenaran dan pengorbanannya juga menjadi rebutan faksi-faksi politik. Sekali waktu ia pernah dibawa diam-diam oleh salah satu kelompok politik yang hendak melakukan rapat rahasia di Solo. Ktut bahkan tak sadar kalau dalam perjalannya menuju Solo ia berada satu mobil dengan Scarlet Pimpernal-nya Indonesia yang legendaris itu, Tan Malaka.

Dalam sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden dari berbagai kantor berita dan media massa luar negeri, ia dipilih oleh pemerintah untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan dan betapa dustanya propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta sama sekali tak didukung rakyatnya. Dari sanalah julukan Surabaya Sue lahir.

Kesetiaannya yang tanpa karat membuat Ktut dipilih pergi ke Singapura dan Asutralia untuk melakukan kampanye menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa dan paspor, dengan hanya bermodal kapal tua yang di nakhodai seorang Inggris yang frustasi, Ktut berhasil lolos dari blokade kapal laut Belanda. 

Dari Singapura ia pergi ke Australia untuk menggalang dana, melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda. Selama di sana ia berhasil menggalang sebuah demonstrasi mahasiswa di perwakilan pemerintahan Belanda di Australia.

Ketika terjemahan Indonesia buku ini terbit pertama kali pada 1965, buku ini sudah terbit di tiga belas negara, dari mulai Amerika, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Norwegia, Swedia, Finlandia, Jepang, Spanyol, Denmark, hingga Cina.

Buku ini meraih kesuksesan luar biasa karena pada masanya ia dianggap sebagai suara jernih yang dipercaya dapat menggambarkan tidak hanya eksotisme Bali seperti yang bisa dibaca dalam banyak roman Eropa sejak abad 18, melainkan diyakini pula sebagai bacaan yang otoritatif untuk menggambarkan bagaimana tekstur dan gestur dari jiwa Indonesia, sebuah bangsa yang baru saja merdeka bukan karena pemberian cuma-cuma penjajahnya.

Memang sulit untuk tak menyebut buku ini istimewa, sesulit keinginan berniat berhenti membaca memoar ini begitu seseorang sudah membuka halaman pertamanya. Keistimewaan buku ini bukan hanya karena berisi pengalaman hidup penulisnya yang luar biasa dan nyaris nekad, tetapi juga karena buku ini disusun dengan gaya bercerita yang demikian kuat, mengalir, yang disana-sini pembaca akan menemukan banyak momen dramatik bak sebuah suspense seperti yang biasa dijumpai dalam novel-novel berlatar perang. Karakter-karakter yang dipanggungkan pun nyaris tak ada yang sia-sia. Pembaca mana pun akan kesulitan untuk tidak ikut-ikutan membenci sosok yang dikisahkan mengkhianati perjuangan Indonesia atau menyiksa K’tut Tantri. Tampak betul kalau Ktut Tantri punya kemampuan teknis di atas rata-rata dalam berkisah.

Kendati buku ini adalah sebuah memoar yang tentu saja setia dengan fakta-fakta sejarah sejauh pengamatan dan pengetahuan Ktut, tetapi memoar ini jauh dari kesan kaku. Membaca buku ini seperti membaca sebuah roman, lengkap dengan alurnya yang rapi, karakter-karakternya yang kuat dan sejumlah suspense-nya yang dramatik. Untuk ukuran Indonesia, barangkali hanya seorang Ramadhan KH lewat otobiografi Inggit Garnasih, Ku Antar ke Gerbang, yang bisa menandingi kemampuan Ktut menuliskan memoar dengan gaya roman.

Kendati banyak mengisahkan orang-orang besar (terutama Bung Tomo, Bung Karno dan Amir Syarifuddin) dan kejadian-kejadian penting yang terkenal, dengan caranya sendiri Ktut Tantri berhasil menyusun sebuah memoar yang bisa dibaca sebagai buku sejarah yang demikian lapang memberi ruang pada orang-orang kecil dan kejadian-kejadian yang tampaknya sepele tetapi sesungguhnya bisa memberi gambaran yang lebih utuh tentang jalannya perjuangan kemerdekaan yang kompleks dan penuh warna ini; sederet kejadian yang sama sekali tak tercatat dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia.

Memoar ini juga kaya dengan detail kejadian yang tak tercatat, dari peristiwa yang dramatis hingga yang lucu. Salah satunya adalah kejadian ketika Ktut mengikuti rapat akbar di Jawa Timur yang menghadirkan Bung Karno, Bung Hatta dan Amir.

Seperti biasa, Bung Karno menggelorakan peserta rapat akbar dengan orasinya yang meninju, dan Hatta memukau massa dengan ketenangannya yang nyaris seperti seorang pendeta. Ketika giliran Amir berorasi, ia tampil tak seperti biasanya. Amir yang dikenal kaku, selalu serius, tiba-tiba tampil demikian lucu dan konyol. Rakyat yang mengikuti rapat akbar itu tergelak dan terpingkal-pingkal menyaksikan polah konyol Perdana Menteri-nya. Bung Karno dan Bung Hatta heran setengah mati. Ternyata, beberapa saat sebelum berpidato, Amir diam-diam menenggak habis sebotol Johny Walker, minuman keras beralkohol tinggi, yang dibeli Ktut dan kawan-kawannya untuk pesta ulang tahun seorang kolonel. Amir mabuk berat di atas panggung!

Kini, Ktut Tantri mungkin sudah tak dikenal. Namanya tak tercetak dalam satu pun buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Tapi Ktut mungkin sendiri tak terkejut. Sewaktu di Australia, ia didatangi orang-orang Belanda yang menawarinya uang banyak asal tak membantu lagi Indonesia. Orang Belanda itu juga menyebut kalau bangsa dan orang Indonesia kelak mungkin akan melupakannya.

Tapi Ktut bergeming. Katanya: “Aku hanya setetes dari laut yang mengarus semakin besar menuju kebebasan. Orang Indonesia boleh saja melupakan segala sesuatu mengenai diriku. Mengapa tidak?”

Ktut Tantri sudah meramalkan nasibnya yang kelak dilupakan. Sebuah ramalan yang presisi. Dan Ktut Tantri sama sekali tak menyesalinya. Ia hanya menuruti panggilan kata hatinya. Dan hatinya memang ada di Bali, tepatnya di Indonesia. “Sepotong Surga Terakhir” seperti yang dikatakan sebuah film Hollywood yang ia saksikan di sebuah sore yang dingin diguyuri hujan.


Sumber : Memoar dari Ktut Tantri

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (Tamat)



Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session terakhir. Bagi yg belum membaca session kelima, bisa klik disini...

Lanjut...

Kisah#15: Trial and Error Saat Mencoba Senjata
Senjata-senjata (api) yang dimiliki oleh elemen-elemen bersenjata di Surabaya saat itu sebagian besar adalah hasil rampasan senjata Jepang. Senjata-senjata itu, termasuk mortir, meriam, dan panser, merupakan modal besar dalam mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya di Surabaya dan Jawa Timur namun juga di daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah yang mendapat kiriman senjata rampasan dari Surabaya.

Namanya juga senjata hasil rampasan yang dirampas dalam suasana kacau balau, kualitas dan jenisnya macam-macam. Persoalan lain, seringkali banyak ketidaksesuaian antara suatu jenis bedil atau senjata dengan amunisi yang tersedia. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika terdengar teriakan seperti ini: ”Pelurune kok kegeden? Gak iso mlebu nang bedilku !?” (Peluruku kok kebesaran? Tidak bisa masuk ke dalam bedilku nih!” yang terkadang disahuti oleh yang lain: ”Walah, peluruku malah kecilik’an, lodhok iki”. (walah, malah peluruku kekecilan, jadi longgar ini.). Kalau seperti itu, diantara mereka kemudian saling mencoba untuk mengetahui peluru apa cocoknya ke senjata mana.

Itu baru soal kesesuaian antara jenis peluru dengan bedilnya. Belum lagi soal mempergunakan senjata. Ini persoalan lain lagi. Selain TKR dan Polisi Istimewa, praktis elemen-elemen bersenjata arek-arek Suroboyo adalah milisi yang belum mahir dalam mempergunakan senjata. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, sulit juga untuk mengadakan semacam short course cara penggunakan senjata yang baik dan benar. Terpaksalah para pejuang itu belajar sendiri, dengan cara trial and error, cara mempergunakan senjata seperti bagaimana cara membidik yang tepat agar sasaran bisa dikenai.

Hal ini terus berlangsung bahkan saat pertempuran besar sudah terjadi. Akibatnya seringkali hal ini menimbulkan insiden yang mengenaskan seperti saat teman seperjuangan dihujani mortir hanya karena keliru menghitung sudut elevasi tembakan. Namun terkadang juga muncul hal-hal lucu seperti panser yang disetir dengan gaya orang mabok atau seperti yang diceritakan oleh salah satu pejuang disela-sela istirahat.

“Aku mau nembak tentara Inggris, pas kenek ndase. Langsung matek tentara iku” (Aku tadi menembak tentara Inggris, tepat kena kepalanya. Langsung mati tentara itu) kata pejuang muda itu dengan bangga. Teman-teman yang lain menimpali dengan rasa kagum. “Hebat awakmu saiki, wis iso nembak titis. Angel lho nembak pas kene ndase iku” (Hebat dirimu sekarang, sudah bisa menembak dengan jitu. Susah lho menembak dengan tepat di bagian kepala.).

Tapi apa jawaban pejuang pertama tadi. ”Sak jane sih, aku mau ngeker dodone supoyo luwih gampang ditembak, tapi kok kenek ndase? Yo wis, kebetulan !” (Sebenarnya sih, aku tadi mengincar dadanya agar lebih mudah ditembak, tapi kok kena kepalanya? Ya sudah, kebetulan !”) Maka meledaklah tawa diantara sesama pejuang. 

Begitulah arek-arek Suroboyo, meski suasana perang, selalu ada waktu riang dengan berkelakar diantara mereka.

= = =

Kisah#16: Transformasi dari Pengasuh Pondok Pesantren menjadi Komandan Pasukan Tempur
Masyarakat Surabaya khususnya, dan Jawa Timur sebagian besar adalah muslim yang berorientasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Semasa perang heroik 10 Nopember 1945, peranan warga dan kyai-kyai NU sungguh luar biasa, bertarung bahu-membahu dengan komponen-komponen bangsa Indonesia lain yang ada di Surabaya.

Pada saat situasi di Surabaya kian genting dan ibu pertiwi telah memanggil putra putrinya untuk mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan bangsa, para kyai NU merasa terpanggil untuk turut memberikan sumbangsihnya. 

Serangkain pertemuan digelar oleh para kyai sepuh (sebutan khas dikalangan NU yang merujuk pada kyai-kyai berpengaruh dan sangat disegani) yang berujung pada satu tekad: lawan Inggris atau siapapun yang berniat menjajah kembali Indonesia.! Sebagai perwujudan tekad para kyai dan warga NU, maka pada tanggal 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama PB NU mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk melawan pasukan penjajah.

Resolusi Jihad ini seperti menyiramkan minyak ke api perlawanan rakyat yang sudah menyala. Dampaknya luar biasa. Pesantren-pesantren dan forum-forum pengajian berubah lebih banyak mengajarkan penggunaan senjata dan bela diri. Para pengasuh pondok pesantren juga mengajar ilmu kesakten kepada para pejuang lainnya yang datang ke pondok-pondok pesantren. Ribuan kyai, ustadz, dan santri dari pelbagai penjuru Jawa Timur dan Madura meninggalkan pesantren-pesantren mereka dan mulai bergerak menuju Surabaya untuk turut menjadi pagar bangsa menghadapi musuh yang kian nyata hendak menjarah hak dasar bangsa Indonesia: Kemerdekaan. Sementara mereka yang tidak mempunyai kesempatan turut langsung ke Surabaya, berusaha ikut melawan di daerah masing-masing dengan misalnya merampas logistik untuk Inggris, dan kemudian mengoperkannya ke para pejuang, atau mengirimkan bahan-bahan pangan agar para pejuang tidak kelaparan saat bertaruh nyawa melawan pasukan Inggris. 

Para santri dan kyai itu bergabung dalam pelbagai elemen perlawanan bersenjata. Ada yang bergabung dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah, atau bergabung dalam pasukan reguler lainnya. Sebagai komandan umum laskar NU/pesantren adalah KH. Wahab Chasbullah, yang sehari-harinya adalah pengasuh pondok pesantren. Entahlah, apa yang ada dalam pikiran para Jenderal dan komandan pasukan Inggris kalau mereka tahu bahwa laskar dan berikut para komandan di pihak Indonesia sebagian besar adalah benar-benar warga sipil yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman tempur sama sekali.

Meskipun para santri dan kyai-kyai tersebut sangat minim dalam hal pengalaman dan teknik bertempur, keberanian mereka jangan disangsikan. Mereka sungguh ikhlas dan tuntas dalam berjuang. Gelegar suara bom dan mortir, deru deram tank-tank, dan desingan peluru pasukan Inggris dibalas dengan teriakan takbir yang membahana sembari mengacungkan-acungkan senjata agar para pejuang jangan gentar sedikitpun. Cara bertempur seperti ini justru membuat pasukan India Muslim (yang kemudian menjadi Pakistan) dari pihak Inggris menjadi gagap dan gelagapan. Mungkin mereka menghadapi perang batin yang luar biasa karena yang mereka hadapi adalah saudara muslim mereka yang tengah berjuang mempertahankan haknya. Tidak sedikit diantara pasukan India Muslim ini memberikan senjata dan amunisi kepada para pejuang atau bahkan meninggalkan gelanggang pertempuran untuk menghindari bentrokan dengan arek-arek Surabaya..

= = =

Kisah#17: Bantuan dari Daerah Sekitar
Berikut ini penuturan dari salah satu anggota TRIP di Madiun. Waktu itu pemuda-pemuda Madiun juga ikut terpanggil untuk berangkat ke Surabaya untuk melawan Sekutu. Tapi sayang beliau ngga boleh ikut berangkat ama komandannya karena punya tanggung jawab jaga gudang amunisi (karena rumahnya paling deket). 

Pejuang tersebut cerita bahwa ada ratusan pemuda dari Madiun yang berangkat ke Surabaya. Sebagian besar naik kereta, sebagian lagi naik truk. Tapi yang paling mengharukan, sebagian yang ngga bisa keangkut kereta atau truk ngga mau nunggu lama-lama, mereka bertekad jalan kaki atau naik sepeda sampai surabaya (400 km dari madiun). Salah satu yang jalan kaki adalah temennya pejuang tersebut. Akhirnya dia bisa dapet tumpangan kendaraan di kota nganjuk (kira-kira 100 km dari Madiun) setelah seharian berjalan. Bayangkan betapa kuatnya tekad mereka untuk berjuang (menjemput maut) sampai rela berkorban seperti itu.

Yang ngga bisa berangkat kayak pejuang diatas karena harus menjaga gudang amunisi, nyumbang apa aja yang bisa dikasih ketemen-temennya yang berangkat... ya senjata, ya uang, ya baju, ya sepatu.. pokoknya apa aja yang bisa dikasih. Kata pejuang tadi, sepanjang jalan utama antara Madiun - Surabaya.. banyak ibu-ibu duduk di pinggir jalan sambil menawari makanan dan minuman bagi para pejuang yang tengah dalam perjalanan ke surabaya..

Mereka rela menjadi tiada untuk membuat kita ada... 


Sumber : Seluruh pejuang di Surabaya khususnya Arek-arek Suroboyo

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (5)



Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session kelima. Bagi yg belum membaca session keempat, bisa klik disini...

Lanjut...

Kisah#12: Tidurlah Sekarang ! Besok Inggris Tidak Akan Memberi Kesempatan Kalian untuk Tidur
Mengetahui bahwa rakyat Indonesia di Surabaya mendapat ultimatum dari pasukan Inggris, pemerintah pusat nampaknya juga bingung mau bersikap bagaimana. Tidak mungkin bagi Bung Karno untuk meminta rakyat Surabaya menyerah dan mematuhi ultimatum Inggris. Sementara itu, pemerintah pusat juga tahu betapa tidak seimbang kekuatan senjata dan pengalaman tempur tentara reguler Inggris dengan arek-arek Suroboyo yang sebagian besar adalah warga kampung biasa. Akhirnya, setelah buntu semua jalan untuk mencegah Surabaya diserang habis-habisan oleh Inggris, pemerintah pusat menyerahkan pada para pemimpin di Jawa Timur untuk mengambil keputusan.

Maka Gubernur Surjo mengambil kepemimpinan dengan berbicara di radio: “.....Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad yang satu, yaitu berani mengahadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu…..Bismillahhirrohmanirrohim.....Selamat Berjuang !”

Pidato Gubernur Surjo yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Surabaya dan Jawa Timur itu merupakan perintah jelas dan penegasan bagi arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa, at any cost ! 

Menyusul pidato Gubernur Surjo itu, kota Surabaya seperti hendak menyambut pesta besar. Gema takbir terdengar dimana-mana berselang-seling dengan pekik kemerdekaan: dijalan-jalan, di mushola, di masjid, di warung-warung, dikampung-kampung, dipinggir Kali Mas, dan dimana saja tiap kali sesama elemen pejuang dan rakyat Surabaya bertemu. Semuanya merupakan tanda kesiapan lahir dan batin, kesatuan tekad, dan keiklasan yang dalam untuk menghadapi perang besar, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh rakyat Surabaya.

Semenjak pidato Gubernur Surjo itu, kota Surabaya kian hiruk pikuk oleh persiapan terakhir oleh arek-arek Suroboyo. Koordinasi dan komunikasi diantara elemen perjuangan ditingkatkan. Barikade-barikade untuk menghambat gerakan tank-tank Inggris diperkuat. Posisi-posisi strategis diperkuat. Pasukan-pasukan disebar di seluruh lini pertahanan. Bedil, mortir, panser (yang cuma beberapa biji), dan meriam (yang cuma beberapa pucuk) di periksa. Demikian juga dengan pedang, clurit, golok, keris juga diperiksa atau diasah lagi untuk memastikan bahwa senjata-senjata tajam itu cukup tajam saat disabetkan ke tubuh pasukan Inggris. Anak-anak, orang tua, dan warga perempuan diungsikan keluar dari kota untuk mengurangi korban sipil. 

Bagi sebagian besar anggota TRIP, saat-saat usai pidato Gubernur Surjo adalah saat-saat yang sungguh mendebarkan. Banyak diantara mereka yang tidak bisa tidur untuk menghadapi pertempuran besar esok hari. Para remaja pejuang itu, yang masih bujangan, seperti hendak mau jadi pengantin saja. Berdebar tak sabar untuk segera bertemu sang mempelai. Guyonan seperti ”Koyok arep nikah ae rek ! Gak iso turu. Pingin ndang ketemu calon bojo” (Seperti hendak menikah aja Rek ! Tidak bisa tidur ingin cepat bertemu dengan calon istri) terdengar diantara mereka. Calon penganten yang dimaksud anggota TRIP itu tentu saja bukanlah perempuan gemulai nan cantik. Namun pasukan Inggris yang sangar dengan mesin perangnya yang mengerikan.

Bahkan salah seorang pimpinan TRIP mencoba mengingatkan teman-temannya untuk tidur agar bisa istirahat. ”Rek ! Turuo koen iku. Simpen tenogomu kanggo sesok. Inggris sesok gak bakalan ngekek’i kesempatan kanggo koen enak-enakan turu !” (Rek ! Tidurlah kalian. Simpan tenaga kalian buat besok. Inggris besok tidak bakalan memberi kesempatan kalian enak-enakan tidur). 

Esok harinya, yang ditemukan oleh pasukan Inggris bukanlah barisan rakyat Surabaya yang datang dengan bendera putih ditangan untuk takluk kepada Inggris dengan tanpa perlawanan, namun ribuan pejuang bersenjata yang sudah siap di seluruh kota dengan segala macam persenjataan yang dimiliki. Inggris benar-benar kecele !

= = =

Kisah#13: Tentara Belanda "Gembeng" (Cengeng)
Setelah beberapa saat saling berhadap-hadapan di Kali Porong, arek-arek Suroboyo memutuskan untuk memperluas medan pertempuran dengan bergeser ke arah Selatan (arah ke Malang). Suatu ketika di daerah Pandaan, sebuah unit kecil pasukan Belanda berhasil disergap dengan cantik. Selain menewaskan beberapa serdadu Belanda totok, seorang Belanda totok juga bisa ditangkap hidup-hidup. Prajurit itu masihlah sangat muda. Lebih tua dikit dari anggota TRIP. Rupanya, serdadu Belanda itu gentar juga dikerubuti anggota TRIP yang nampak sangar, karena jarang mandi dan jarang ganti baju.

Seragam tempur serdadu Belanda, lengkap dengan sepatu botnya, ternyata membuat ngiler sebagian anggota TRIP. Karena seragam TRIP tidak sebanding dibanding dengan seragam serdadu Belanda. Maka dengan motivasi pingin memiliki seragam dan sepatu bot serdadu Belanda, dan memberi pelajaran kepada Belanda totok yang dengan lancang telah berani menginjakkan kakinya di Indonesia, maka serdadu itu dipaksa untuk mencopot seragam berikut sepatu botnya. Hanya celana kolor yang masih boleh dipakai.

Mendapat perlakuan seperti itu serdadu Belanda itu pun….menangis ketakutan. Kini giliran anggota TRIP yang kaget dan keheranan. Tentara bule kok gembeng (cengeng). Berani pula hendak menjarah kemerdekaan bangsa lain. Mungkin karena jengkel melihat tentara itu menangis, salah seorang anggota TRIP menjitak kepala tentara cengeng itu sembari mengatakan. ‘Nek gembeng yo ojok melu perang !!” (kalau cengeng ya jangan ikut perang !!”

Belakangan serdadu Belanda totok itu ditukar dengan tawaan pejuang Indonesia yang ditawan Belanda, karena sangat merepotkan menawan Belanda totok. Selain dia mengurangi persediaan pangan pasukan yang susah payah disumbangkan oleh penduduk juga...dia gak bisa makan menu para pejuang : nasi tiwul dan singkong rebus…!

= = =

Kisah#14: Nasib Pasukan Gurkha
Pada saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Mallaby dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka ngurus tawanan perang Jepang.

Namun ternyata kesepakatan ini dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi gesekan-gesekan dilapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Inggris. 

Pasukan Inggris, terutama Gurkha dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.

Akibatnya, kemarahan para pejuang kian tinggi sehingga diputuskan untuk menyerang pos-pos pasukan Inggris, terutama yang berada di area di luar jarak 800 meter sesuai kesepakatan (sungguh fair play arek-arek Suroboyo itu, meski dibuat marah, mereka masih menghormati kesepakatan yang dibuat oleh para pemimpinnya). Arek-arek Suroboyo yang marah menyerang seluruh pos pasukan Inggris, termasuk Gurkha. Arek-arek Suroboyo nampaknya punya perhitungan tersendiri terhadap pasukan Gurkha ini. Mereka inilah yang paling kurang ajar dan paling kejam diantara pasukan Inggris. Sebagian arek-arek Surabaya tahu reputasi dan pengalaman tempur Gurkha, tapi so what gitu lho? Tidak ada rasa takut atau segan sedikitpun untuk bertempur melawan pasukan Gurkha. Clurit orang Madura tidak kalah mematikan dengan pisau kukri Gurkha. 

Sejarah kemudian mencatat, pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan trengginas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek Suroboyo, mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara, membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan menembak).

Apa boleh buat, itulah peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka saat melawan Jepang, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo, yang mereka ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam memalukan yang mereka torehkan.

note : Gurkha pada saat itu adalah pasukan elit yg sangat disegani dan ditakuti. Hingga saat inipun reputasi pasukan ini masih sangat mengerikan, ini terbukti karena pasukan Gurkha masuk kedalam 10 besar pasukan elit dunia dan Gurkha berada diurutan ke-9. 

Klo menurut gue kasian bgt yah..!!! masa pasukan elit kalah ma milisi yg kgak pernah perang sebelumnya, mau ditaruh dimana tuh muka, di ember..???


Bersambung...

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (4)



Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session keempat. Bagi yg belum membaca session ketiga, bisa klik disini...

Lanjut...

Kisah#9: Bonek yang Sesungguhnya
Supporter remaja Persebaya yang terkenal dengan sebutan bonek (bondo nekad = modal nekad), kehadirannya lebih sering bikin rusuh dan resah banyak orang. Oleh karena itu, kehadiran mereka seringkali menimbulkan antipati dari pelbagai pihak. Namun tidak demikian halnya dengan para bonek saat menjelang pertempuran 10 Nopember 1945. Kehadiran mereka justru memberikan andil bagi perjuangan menjaga kemerdekaan.

Saat itu diminggu terakhir Oktober, untuk meredakan pertikaian yang kian panas antara arek-arek Suroboyo dan pasukan Mallaby, diadakanlah pertemuan antara pimpinan militer Inggris di Surabaya dengan pimpinan arek-arek Suroboyo yang dengan itikad baik bersedia untuk berunding dengan pihak Inggris.

Namun bagi arek-arek Suroboyo, ada sedikit kekhawatiran. Tempat perundingan berada di daerah basis pertahanan Inggris. Bagaimana seandainya ada tentara Inggris yang menembak pimpinan arek-arek Suroboyo yang akan jadi juru runding? Sementara sudah disepakati juru runding Indonesia tidak boleh dikawal oleh pasukan bersenjata saat ke lokasi perundingan. Jika hal ini dibiarkan, para juru runding itu benar-benar akan menjadi lame duck, yang dengan mudah akan dihabisi jika ada diantara pasukan Inggris yang tidak disiplin.

Maka dicarinya akal. Ketemu cara yang unik, cerdik dan nekad betul. Segera disebar pemberitahuan untuk mencari ABG-ABG atau remaja yang bersedia menjadi sukarelawan untuk mengawal para juru runding, dari dan kelokasi perundingan. Mereka akan menjadi semacam perisai hidup bagi para juru runding. Perhitungan arek-arek Suroboyo, tentara Inggris masa iya sih akan menembak remaja-remaja tidak bersenjata? Mereka pasti takut kalau diperkarakan sebagai penjahat perang.

Dalam suasana yang sangat panas antara pasukan Mallaby dan pejuang, resiko menjadi perisai hidup sangat besar. Namun ternyata tidak sulit untuk mendapatkannya belasan ABG untuk menjadi perisai hidup. Mereka semua dengan antusias bersedia menjadi perisai hidup bagi para pemimpinnya. Bagi mereka, keselamatan para pemimpin adalah lebih penting.

Maka ketika saatnya tiba, beberapa juru runding arek-arek Suroboyo menuju ke tempat perundingan dengan dikelilingi secara rapat oleh belasan ABG Surabaya. Jadilah delegasi tim perunding seperti rombongan aneh, yang mirip arak-arakan temu penganten. Entahlah, bagaimana perasaan pasukan Inggris melihat barisan ajaib itu.

Usai perundingan, rombongan remaja bondo nekad itu kembali mengiringi dan mengelilili dengan rapat tim perunding Indonesia. Saat kembali ke posisi arek-arek Suroboyo, para remaja belasan tahun itu dengan penuh semangat menyanyikan beberapa lagu perjuangan agar makin meriah.

Untung saja saat itu belum ada Undang-undang Perlindungan Anak, bisa-bisa yang punya ide mempergunakan perisai hidup bakal dituntut oleh Kak Seto !

= = =

Kisah#10: Mempermainkan Pesawat Tempur Sekutu
Memasuki minggu ke-4 pertempuran Surabaya, arek-arek Suroboyo terpaksa terus bergeser keluar kota Surabaya, termasuk ke arah Selatan (Sidoarjo) karena terdesak oleh pasukan Sekutu. Maklumlah, senjata yang dipergunakan Sekutu sama sekali tidak seimbang.

Salah satu alutsista yang nyaris tidak bisa dilawan sama sekali adalah pesawat tempur. Tanpa meriam penangkis serangan udara yang memadai, garis pertahanan arek-arek Suroboyo dengan mudah dihajar. Terutama jika posisi pertahanan arek-arek Suroboyo berada di tempat terbuka seperti saat arek-arek Suroboyo mundur ke arah Sidoarjo. 

Namun arek-arek Suroboyo yang tergabung dalam TRIP tidak kurang akal saat mendapat serangan tembakan senapan mesin pesawat tempur sekutu. Ada cara sederhana. Saat itu disepanjang jalan menuju Sidoarjo dan Porong, banyak pohon asam jawa dikanan kiri jalan. Umumnya pohon asam itu sudah tua dengan batang yang cukup besar. Nah pohon asam inilah yang dijadikan tempat berlindung saat pesawat tempur datang menyerang. Para pejuang TRIP tahu bahwa sudut tembakan tidaklah tegak lurus, sehingga mereka dapat mempergunakan batang asam yang diameternya lebih semeter untuk berlindung.

Jika pesawat tempur musuh datang dari arah Barat, maka anggota TRIP berlindung disisi timur batang pohon asam. Sebaliknya jika pesawat musuh datang dari arah Barat, maka arek-arek Suroboyo berlindung disisi sebelah Timur batang asam. Cara ini cukup manjur mengurangi korban.

Dasar anak-anak muda, bukannya takut mendapat serangan udara semacam ini, malah mereka senang karena bisa mempermainkan pesawat temput Sekutu. Meski tidak bisa balas menembak pesawat musuh, paling tidak bisa sedikit mempermainkan pilot musuh…

= = =

Kisah#11: Prajurit Madura yang Dikontrak Belanda Itupun "Dipalak" Para Pejuang
Setelah terdesak dari Surabaya, di front Selatan, Kali Porong sempat menjadi garis demarkasi antara pasukan arek-arek Suroboyo dengan pasukan Belanda (saat itu Inggris menyerahkan kendali kepada Belanda karena Inggris tidak mau lagi terlibat dalam pertempuran menyakitkan yang tidak ada gunanya bagi Inggris).

Arek-arek Suroboyo bertahan di sisi Selatan tanggul Kali Porong sementara pasukan Belanda ada disisi Utara tanggul Kali Porong. Di antara pasukan Belanda itu, terdapat beberapa elemen pasukan yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia termasuk dari Madura.

Mungkin karena kedekatan budaya, suku, dan agama antara arek-arek Suroboyo dengan pasukan Belanda dari suku Madura, terdapat hubungan yang unik antara arek-arek Suroboyo dengan prajurit Belanda dari suku Madura. 

Pasukan Madura nampak merasa serba salah menghadapi arek-arek Suroboyo, yang diantaranya banyak juga dari keturunan Madura. Jika mereka nampak berjaga di seberang Kali Porong, arek-arek Suroboyo segera mengejek mereka sebagai pengkhianat plus bonus makian dengan menyebut segala macam nama-nama koleksi kebun binatang dan benda-benda yang biasa dibuang di WC. Kalau makian khas Surabaya, sudah jadi menu harian yang terpaksa harus ditelan oleh prajurit Madura. Pokoknya, segala sumpah serapah dan caci maki dengan rajin dihadiahkan kepada pasukan yang dikontrak Belanda itu. Lebar Kali Porong tidaklah begitu lebar, paling 50 – 75 meter sehingga teriakan dari seberang kali masih dapat didengar dengan jelas dari seberang lainnya. Mendapat caci-maki seperti itu umumnya prajurit Madura tidak membalas. Mereka diam saja. 

Yang lebih menakjubkan, dikala air Kali Porong surut, tak jarang sebagian arek Suroboyo menyeberang Kali Porong ke arah sektor yang dijaga prajurit Madura tanpa merasa khawatir ditembaki oleh prajurit Madura. Arek-arek Suroboyo menyeberang kali biasanya untuk minta....roti, makanan, bahkan peluru kepada prajurit Madura, yang anehnya juga pasrah saja di “palak” arek-arek Suroboyo. Tidak ada insiden yang serius antara para pejuang dengan prajurit Madura. 

Luar biasalah arek-arek Suroboyo itu, sudah memaki habis-habisan, masih pula minta makanan dan peluru ! Tak kalah luar biasa pula kesabaran prajurit Madura itu, sudah diejek dan dimaki-maki, makanan dan peluru mereka pun sebagian diberikan kepada arek-arek Suroboyo !

Sungguh, hubungan yang aneh, yang mungkin membuat pening kepala opsir-opsir Belanda...!


Bersambung...

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (3)



Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session ketiga. Bagi yg belum membaca session kedua, bisa klik disini...

Lanjut...

Kisah # 6: Panser Bermanuver Seperti Orang Mabuk
Sebagian besar para pejuang yang turut dalam pertempuran 10 Nopember adalah milisi-milisi, yang sebelum pecah perang belum pernah memegang dan mempergunakan senjata api, apalagi mortir dan panser. Anggota dari satuan-satuan yang dianggap militer professional pun belum tentu mahir semua dalam mengoperasikan senjata berat. Memang ada anggota PI atau TKR yang mampu mengoperasikan mortir atau panser dengan baik, tapi ada juga yang benar-benar masih perlu banyak belajar lagi. 

Sebagai misal saat terjadi perundingan pada tanggal 30 Oktober antara pemimpin Pusat dan Jawa Timur dengan pimpinan militer Inggris yang dipimpin oleh Mayjend Hawthorn. Entah terpancing oleh bunyi tembakan-tembakan meriam dari kapal perang Inggris, atau untuk balik menggertak pasukan Inggris, komandan TKR dan PI mengerahkan panser yang dimilikinya disekitar lokasi perundingan. Namun berhubung ada yang belum terlalu mahir nyetir panser, jadilah panser itu berjalan seperti orang mabuk. Muter-muter gak karuan, maju mundur entah mau kemana. Pokoknya, panser itu bergerak dengan maneuver yang barangkali tidak ada dalam manual cara menyetir panser yang baik dan benar. 

Namun begitu, manuver panser bak orang mabuk itu boleh juga untuk unjuk kekuatan tepat didepan mata Panglima Inggris untuk wilayah Jawa-Bali.

= = =

Kisah # 7: Sweet Revenge untuk Kempetai
Bagi arek-arek Suroboyo, markas kempetai adalah simbol praktek kebiadaban Jepang terhadap rakyat Indonesia. Di markas itulah segala bentuk kekejaman Kempetai Jepang terhadap rakyat Indonesia berlangsung. Tak terhitung banyaknya arek-arek Surabaya yang tewas karena penyiksaan oleh anggota Kempetai.

Rasa permusuhan arek-arek Suroboyo makin menjadi-jadi karena anggota Kempetai ndablek tidak segera menyadari perubahan politik yang terjadi disekitarnya. Mereka secara eksplisit tidak mengakui kenyataan bahwa sebuah negara berdaulat telah lahir. Dengan dalih tunduk pada ketentuan dalam perjanjian kapitulasi tanpa syarat Jepang terhadap Sekutu, anggota kempetai tidak mau mengakui lambang-lambang kedaulatan Indonesia. Selain itu, kehadiran anggota Kempetai yang masih bersenjata lengkap, dapat menjadi ”petasan dalam saku celana” yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan luka bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Sikap Kempetai ini bermuara pada satu hal bagi para pemimpin arek-arek Suroboyo: cukuplah bagi Kempetai. Maka diputuskanlah untuk menyerang dan menghancurkan markas Kempetai. Agar serangan lebih memiliki daya rusak lebih hebat, ada pasukan yang membawa bom yang biasa dijatuhkan dari pesawat seberat sekitar dua ratus lima puluh kilogram. Bom itu secara perlahan digeser mendekati kearah markas Kempetai. Namun tidak mudah untuk mendekati markas Kempetai dan kemudian meledakkan bom itu.

Pasukan Kempetai yang memang terkenal personel pilihan, tidak gampang menyerah begitu saja meski markasnya telah dikepung arek-arek Suroboyo. Mereka pun berusaha keras untuk mempertahankan markas mereka. Mengetahui bahwa ada bom dengan potensi daya ledak yang hebat sedang dibawa ke markas mereka, anggota Kempetai matian-matian menghambat pergerakan bom itu dengan menembaki para pembawa bom. Kempetai nampaknya tidak berani menembaki bom yang dibawa oleh para pejuang, mungkin takut dengan efek ledakannya.

Satu demi satu pejuang yang bertugas membawa bom gugur atau terluka oleh tembakan anggota Kempetai. Namun, begitu ada yang gugur atau terluka, dengan segera akan selalu ada seseorang yang bergegas mengambil alih membawa bom. Begitu seterusnya korban terus berguguran, tapi pembawa bom silih berganti muncul. Arek-arek Suroboyo benar-benar bertarung seperti banteng ketaton (banteng terluka). Tak jarang pejuang berikutnya yang mengambil alih membawa bom merangkak di atas tumpukan jenasah rekan-rekan seperjuangannya yang sebelumnya membawa bom. Banjir darah segar para pemuda bangsa deras mengalir menggenangi jalan. Tapi arek-arek Suroboyo pantang surut, terus maju mendekati markas Kempetai. 

Hingga akhirnya....Bom itu pun berhasil mencapai tempat yang diinginkan. Selanjutnya...jedhueerrr....! Markas Kempetai, lambang kekejian paripurna pasukan Jepang, berhasil dijebol. Terbang pula semangat pasukan Kempetai. Gema takbir bergema dimana-mana diselingi teriakan-teriakan ”Maatekk ! Koen...C*k...!” (Mampuslah ! Kau...). Pasukan Kempetai yang dimasa lalu terdengar namanya saja disebut membuat bergidik banyak orang, akhirnya harus mengakui ketangguhan bertempur arek-arek Suroboyo.

Untuk mengenang peristiwa yang sangat heroik dan berdarah itu, pemerintah mendirikan Tugu Pahlawan tepat dilokasi bekas markas Kempetai. Jika melintas atau mengunjungi Tugu Pahlawan, ingatlah selalu pengorbanan besar para pemuda yang gugur saat menyerang markas Kempetai.

= = =

Kisah#8: Maunya Gaya Malah Celaka
Anggota TRIP masihlah muda-muda. Maklumlah, dalam kehidupan normal, mereka semua adalah pelajar. Situasilah yang membuat mereka meninggalkan bangku sekolah untuk memenuhi panggilan ibu pertiwi, menjadi pagar pelindung kemerdekaan bangsa.

Bagi anggota TRIP, perang melawan Inggris bukanlah sesuatu yang menakutkan, malah sesuatu yang menyenangkan dan tentu saja membanggakan. Ditengah hujan mortir, bom, atau guyuran pelor pasukan Inggris, terkadang mereka masih sempat berkelakar khas Surabaya. Pasukan Gurkha yang jadi andalan pasukan Mallaby pun, seringkali malah jadi bahan becanda diantara mereka. Dalam bahasa remaja sekarang, "perang ? Enjoy aja !".

Terkadang pula disebagian anggota TRIP muncul sifat sok gaya sebagaimana layaknya para remaja. Sifat ini terkadang membawa celaka seperti yang menimpa salah seorang anggota. Entah dia mau sekedar gaya, atau benar-benar tidak tahu bahaya main-main dengan alat perang. Saat menembakkan mortir, dengan konyol dia meletakkan landasan mortir kecil di pahanya. Mungkin karena dianggapnya bobot mortir tidak terlalu berat baginya. Namun dia tidak memperhitungkan daya hentak alat perang itu saat melontarkan peluru mortir. Akibatnya memang fatal. Hentakan landasan mortir saat menembakkan mortir menekan dengan keras paha anggota TRIP yang sok gaya itu sehingga terluka parah. Terpaksalah dia libur tidak ikut bertempur melawan Inggris karena lukanya itu.


Bersambung...

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (2)



Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session kedua. Bagi yg belum membaca session pertama, bisa klik disini...

Lanjut...

Kisah # 3: Evolusi Warna Celana Pasukan TRIP
Pada saat menjelang atau awal pertempuran 10 Nopember, sebagian pasukan TRIP memperoleh celana seragam berwarna khaki (kayak kopi susu muda gitu). Bagi para anggota TRIP yang masih muda-muda, celana itu merupakan kebanggaan, dan sekaligus merupakan celana andalan, karena jarang yang punya ganti. Maklum situasi ekonomi sulit. Kalau pun dicuci (ini sangat jarang dilakukan), terpaksa nunggu kering untuk dapat dipakai lagi…..

Karena gencarnya pertempuran, celana itu jarang di cuci. Bagaimana sempat nyuci celana, lha wong Sekutu tiada henti membomi Surabaya. Belum lagi celana itu sangat sering dipakai untuk tiarap atau merayap di tanah saat bertempur. Maka secara evolusi, warna celana itu pun berubah. Kalau semula berwarna khaki lambat laun warna celana itu menjadi kehitaman. Apalagi banyak diantaranya yang coba-coba melakukan trik “ajaib” dengan secara sengaja membenamkan di lumpur sungai, biar lebih awet katanya. Entahlah, dari mana ide konyol membenamkan celana di lumpur sungai berasal. Tapi tidak sedikit yang mengikutinya.

Itulah yang bisa disediakan oleh Republik saat itu bagi para pejuangnya....

= = =

Kisah # 4: Waspada Jika Terdengar “Wes…ewes…ewez...!”
Sebelum pecah pertempuran 10 Nopember 1945, sebagian besar pejuang dalam perang Surabaya adalah masyarakat sipil biasa, yang sebelumnya mungkin hanyalah tukang jual soto, pedagang dipasar, penarik becak atau dokar, atau pelajar seperti yang tergabung dalam TRIP. Pokoknya semua yang merasa kuat menenteng senjata, maju menantang pasukan Inggris yang baru saja menang Perang Dunia ke-2, termasuk pasukan Gurkha yang katanya hebat dalam bertempur. Satu-satunya unit bersenjata yang terlatih dan memiliki persenjataan yang cukup lengkap hanyalah Polisi Istimewa (PI).

Asal-usul mereka juga macem-macem, hampir segala suku di Indonesia terwakili: Jawa, Madura, Ambon, Batak, Manado, Bali, pokoknya macam-macam suku yang saat itu tinggal di Surabaya. Belum lagi laskar-laskar yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur sendiri yang mengalir masuk ke Surabaya untuk memberikan dukungan. Kesemuanya memiliki satu tekad yang sama: lawan Inggris..! sebagai perwujudan kongkrit apa yang disampaikan secara bergelora oleh Bung Tomo dalam pidatonya.: “...Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!” Hanya ibu-ibu, orang tua dan anak-anak yang diungsikan ke luar Surabaya. Sisanya ya..itu tadi, meleburkan diri dalam pelbagai kelompok perlawanan rakyat.

Keadaanlah yang memaksa mereka untuk segera menyesuaikan diri, belajar bertempur sebisa mereka, dengan senjata apa saja yang mereka miliki (termasuk mungkin pedang dan keris warisan kakek buyut mereka). Semuanya bondo nekad (bonek. Eh, jangan samakan mereka dengan bonek supporter Persebaya ya?) karena tidak sudi tanah tercinta diinjak-injak penjajah, seberapa pun kuat militer mereka. Akibat kemampuan teknis tempur mereka pas-pasan, sering terjadi insiden yang mengenaskan. Misalnya, saat mencoba menembakkan mortir ke arah Undaan Kulon (nama sebuah tempat di Surabaya), dimana posisi musuh berada, tembakan arek-arek Suroboyo malah melenceng ke arah Undaan Wetan dimana sebagian teman perjuangan bertahan ! 

Namun seiring berjalannya waktu, arek-arek Suroboyo, para pejuang muda yang pemberani itu mulai ngerti cara berperang, termasuk mulai bisa memperkirakan jarak sebuah mortir atau bom yang akan meledak. Jika terdengar suara bersiutan : ”Siuuutttt……” arek-arek Suroboyo masih bersikap tenang karena itu berarti mortir atau bom masih jauh dari mereka. Tapi kalau sudah mendengar ”wesz…ewesz….!” rame-rame mereka segera tiarap atau mencari perlindungan karena itu berarti mortir atau bom sudah mendekat ke arah mereka.

Boleh juga pembelajaran yang mereka peroleh ! 

= = =

Kisah # 5: Mbok-mbok dan Mbak-Mbak yang Berjasa Besar Agar Para Pejuang tidak Loyo
Selain arek-arek Suroboyo yang terlibat langsung dalam pertempuran melawan Inggris, peran sejumlah Mbok-mbok (ibu-ibu) dan Mbak-mbak selama pertempuran 10 Nopember 1945 tidak dapat diabaikan. Selain sebagai tenaga medis yang merawat para pejuang yang terluka, yang tak kalah penting adalah peran mereka di dapur umum.

Seperti dikisahkan oleh seorang pemudi yang waktu itu ikut berjuang dengan pemuda-pemuda di Surabaya. Waktu itu ia adalah salah seorang yang pada pertempuran 10 Nopember turut terlibat dalam pertempuran sebagai tenaga di dapur umum.

Saat itu umur dia belumlah mencapai 20 tahun. Dia sengaja tidak ikut mengungsi keluar dari Surabaya meski dia tahu bom, mortir, atau tembakan senapan mesin Inggris tidak pandang bulu apakah pejuang bersenjata ataukah mbok-mbok renta. Dia sengaja tetap tinggal di Surabaya, dengan mengambil resiko yang sangat besar, karena ingin turut membela kehormatan dan kemerdekaan bangsa.

Waktu ditanya apakah dia tidak takut, dia mengatakan: ”Tentu saja ada rasa takut, lha wong bom Inggris jedhar-jedher nggak kenal waktu dan tempat.”. Alasan dia untuk tetap tinggal dengan mengesampingkan rasa takutnya adalah: ”Sak’no arek-arek sing melu perang iku. Arek-arek iku wis totoan nyowo ngadepi Inggris, gak tentu istirahat utowo turune, mosok dijarno luwe”. (Kasihan para pemuda itu. Para pemuda itu sudah bertaruh nyawa menghadapi Inggris dengan tak tentu istirahat atau tidurnya, masak dibiarkan kelaparan). Sederhana, namun berkat peran para Mbok-mbok dan mbak-mbak diseantero Surabaya diseluruh lini pertempuran, arek-arek Suroboyo sanggup memberikan pelajaran yang sangat pahit kepada pasukan Inggris yang sebagian diantaranya baru saja memenangkan pertempuran brutal di El Alamein

Dari dapur umum, logistik kemudian merembes ke lini-lini pertahanan arek-arek Suroboyo agar mereka tidak loyo karena kelaparan saat bertempur melawan pasukan Inggris.

Mengenai bahan pangan, menurut beberapa sumber, kiriman beras atau bahan pangan lainnya untuk para pejuang berasal dari kota-kota sekitar Surabaya seperti Pasuruan, Probolinggo atau daerah lainnya di Jawa Timur. Bantuan-bantuan itu (termasuk bantuan personel tempur) kian memperkuat semangat mereka dalam menghadapi Inggris, karena mereka tahu bahwa saudara-saudara sebangsa mereka, tidak membiarkan mereka berjuang sendirian menghadapi makelar penjajah Belanda (Inggris) yang pingin menjarah kembali kemerdekaan Indonesia.. 

Pertempuran 10 Nopember memang seperti Selametan kampung, semua ikut serta, tidak mau ketinggalan dengan pelbagai peran mereka. !


Bersambung...

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (1)



Siapa penduduk di Indonesia yang tidak tahu tentang pertempuran 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya sehingga saking besarnya pertempuran ini hingga menjadikan Surabaya sebagai ikon kota Pahlawan. Penyebab dari pertempuran ini karena datangnya tentara Inggris ke Surabaya dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang yang sudah kalah pada perang dunia 2, tapi kedatangan tentara Inggris ini ternyata diikuti oleh tentara Belanda yang notabene pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad dan inilah yang membuat marah penduduk Surabaya.

Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Tapi dibalik hebatnya pertempuran ini, ternyata terselip cerita menarik dibalik pertempuran ini. Apakah cerita itu, mari kita lihat dibawah ini :


Kisah # 1: Pak Lek ! Endhi Londone…?!
10 Nopember 1945 dipagi hari. Inggris benar-benar melaksanakan ultimatum mereka. Seluruh kekuatan militer yang ada di Surabaya dan Selat Madura mereka kerahkan untuk membom habis-habisan Surabaya, dari darat, laut dan udara. 

Kapal perang Inggris dari Selat Madura terus-menerus memuntahkan bom-bom maut kearah daerah pertahanan Arek-arek Suroboroyo. Di darat tank-tank Inggris mencoba merangsek garis pertahanan Arek-arek Suroboyo, yang ternyata tidak semudah dibayangkan Jenderal Mansregh karena mendapat perlawanan sengit. Sementara dari udara, pesawat tempur Inggris dengan leluasa menembaki dan membom pertahanan Arek-arek Suroboyo yang relatif terbuka tanpa ”payung” pertahanan udara yang berarti.

Berkat teknologi perang Inggris canggih saat itu, bom-bom Inggris yang dimuntahkan dari kapal perang berjatuhan menghajar hingga jauh ke bagian Selatan Surabaya seperti kawasan Darmo, yang terletak belasan kilometer jauhnya dari Selat Madura. Arek-arek Suroboyo yang berada di daerah tersebut cuma bisa misuh-misuh (memaki-maki) karena terus menerus dihujani bom Inggris tanpa bisa membalas sama sekali karena umumnya mereka hanya memiliki senjata untuk pertempuran jarak dekat seperti bedil rampasan, mortir, clurit, pedang....dll

Seorang Arek Suroboyo umur belasan tahun beringsut mendekat kepada senior mereka. Ditengah riuh rendah suara ledakan bom Inggris, dia bertanya: ”Pak Lek ! Pundhi Londone ?!” (Paman, mana orang Inggrisnya?.Saat itu lumrah jika menyebut Inggris dengan Londo, karena sama-sama kulit putih, dan sama-sama hendak merampas kemerdekaan)

”Opok’o ?” (kenapa?) balik si pejuang senior bertanya

”Wonge gak kethok, bome wis tekan mrene !” (Orangnya tidak kelihatan, bomnya sudah sampe sini !”). ”Wis gak sabar pingin gelut ambek Londo ! Mboh aku sing mati, opo Londo gendheng sing mati !” (sudah tidak sabar saya ingin berkelahi dengan orang Inggris, entah saya yang mati, atau Inggris gila yang mati !”)

= = = 

Kisah # 2: Pidato Bung Tomo yang Menghipnotis Seisi Surabaya
Bung Tomo adalah ikon pertempuran heroik Surabaya. Kemampuan orasinya yang luar biasa mampu membakar semangat juang segenap rakyat Surabaya dalam menghadapi pasukan yang sangat terlatih dan diperlengkapi dengan perlengkapan perang yang sangat modern untuk masanya. 

Bung Tomo adalah seorang nasionalis tulen. Berulangkali dalam orasinya yang mengelegar dia menyebut “pemuda-pemuda Indonesia di Surabaya” atau “bangsa Indonesia di Surabaya”. Selain itu, Bung Tomo juga seorang yang sangat sportif. Meski masyarakat Surabaya mendapat ultimatum dan provokasi dari Inggris, dia memperingatkan “djangan moelai menembak, baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu”.

Orasi Bung Tomo adalah salah satu factor penting yang membuat mereka-mereka yang sehari-harinya adalah tukang soto, abang becak, kusir delman, wong kampong, dan lain-lain komponen sipil rakyat Indonesia di Surabaya, berani menghadapi ultimatum Jenderal Mansregh laksana banteng terluka.

Pidato Bung Tomo adalah saat yang sangat dinantikan oleh rakyat Surabaya. Sesaat sebelum Bung Tomo mulai orasinya di radio, Surabaya bagaikan kota mati, sepi. Rakyat berkumpul ditempat-tempat yang bisa menangkap siaran pidato Bung Tomo yang dipancarkan oleh radio.

Setiap orang Surabaya mengaku merinding dan gemetaran tiap kali mendengar orasi Bung Tomo. Tidak sedikit pula yang bercucuran air mata usai mendengar pidato Bung Tomo. Mereka merinding dan gemetar bukan karena takut terhadap ultimatum Jenderal Mansregh, atau gentar menghadapi pertempuran besar esok hari, tapi mereka merinding dan gemetar karena tekad yang bulat untuk menghadapi ultimatum pasukan Inggris. Merinding untuk segera berhadapan secara jantan, dengan dada tengadah mempertahankan kemerdekaan yang hendak dijarah dan kehormatan bangsa yang hendak dilecehkan.

Suara Bung Tomo yang menggelegar, pilihan kata-katanya yang cerdas dan lugas, serta teriakan takbir yang menggetarkan jiwa tiap muslim yang mendengarnya, adalah perpaduan sempurna dalam membakar semangat, bukan saja mereka yang asli arek Suroboyo, namun juga pemuda-pemuda Indonesia lainnya dari suku-suku bangsa lainnya yang tinggal di Surabaya: Ambon, Sulawesi, Batak, NTT, Bali, Kalimantan, dan lain-lain suku bangsa untuk bersama-sama dalam satu tekad melawan pasukan penjajah.

Tak heran, tiap kali usai pidato Bung Tomo dipancarkan, ungkapan seperti: ”Mboh aku sing mati, opo Inggris keparat sing mati ! Gak sudhi aku nyerah nang Inggris ! (entah saya yang mati, atau Inggris keparat yang mati. Tidak sudi aku menyerah kepada Inggris). Pasukan TRIP yang rata-rata berumur belasan tahun, dengan penuh percaya diri siap bertempur menghadapi pasukan Inggris yang pernah mengalahkan pasukan Rommel di mandala Afrika.

Berikut adalah trankrip pidato Bung Tomo berdasarkan rekaman pidatonya.

Bagian Pertama
Bismillahirrahmanirrahim…
Merdeka!!!
Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia,
teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja
Kita semoeanja telah mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan pamflet-pamflet jang memberikan soeatoe antjaman kepada kita semoea.
Kita diwadjibkan oentoek dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan sendjata-sendjata jang kita reboet dari tentara djepang. 
Mereka telah minta supaja kita datang pada mereka itoe dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaja kita semoea datang kepada mereka itoe dengan membawa bendera poetih tanda menjerah kepada mereka.
Saoedara-saoedara,
didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahwa
ra’jat Indonesia di Soerabaja
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Soelawesi,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan,
pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera,
pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini,
didalam pasoekan-pasoekan mereka masing-masing dengan pasoekan-pasoekan ra’jat jang dibentuk di kampoeng-kampoeng,
telah menoenjoekkan satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol,
telah menoenjoekkan satoe kekoeatan sehingga mereka itoe terdjepit di mana-mana
Hanja karena taktik jang litjik daripada mereka itoe, saoedara-saoedara
Dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja ke Soerabaja ini, maka kita toendoek oentoek menghentikan pertempoeran.
Tetapi pada masa itoe mereka telah memperkoeat diri, dan setelah koeat sekarang inilah keadaannja.
Saoedara-saoedara, kita semuanja, kita bangsa Indonesia jang ada di Soerabaja ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini.
Dan kalaoe pimpinan tentara Inggris jang ada di Soerabaja ingin mendengarkan djawaban ra’jat Indonesia,
ingin mendengarkan djawaban seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini
Dengarkanlah ini hai tentara Inggris,
ini djawaban ra’jat Soerabaja
ini djawaban pemoeda Indonesia kepada kaoe sekalian
Hai tentara Inggris!,
kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe,
menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe,
kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari djepang oentoek diserahkan kepadamoe
Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada,
Tetapi inilah djawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,
maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!
Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja,
siaplah keadaan genting
tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak,
baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu.
Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.
Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara,
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita
sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar
pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!

Bagian Kedua
Bismillahirrahmanirrahim…
Merdeka!!!
Saoedara-saoedara !
Toekang-toekang betjak, saoedara-saoedara bakoel-bakoel soto, bakoel-bakoel tahoe. Saoedara-saoedara orang-orang Madoera, toekang rombengan, Saoedara-saoedara wong-wong kampoeng Suroboyo. Saoedara-saoedara arek-arek Suroboyo, pemoeda-pemoeda Suroboyo, dan saudara-saudara semua pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung dalam pasukan-pasukannya masing-masing di Surabaya ini
Habiskanlah lawan kita ! Pertahankanlah kota kita.ini ! Toehan akan beserta kita. Insya Allah saoedara-saoedara, kemenangan akhir pasti kita yang akan mencampainya.
Allahhu Akbar ! ... Allahhu Akbar ! Allahhu Akbar !
MERDEKA !


Bersambung...

Jumat, 29 April 2011

Garis Waktu Sebelum Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya

“Tidak ada pertempuran yang dilancarkan Republik yang dapat disebandingkan dengan pertempuran Surabaya itu, baik dalam keberanian maupun kegigihannya” (David Welch dalam Birth of Indonesia, hal. 67)

23 September 1945
Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda adalah wakil sekutu pertama yang menjejakan kakinya di Surabaya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan ini mengindikasikan bahwa Belanda-lah yang akan mempelopori pengambil-alihan Surabaya dari Jepang setelah ‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris ketika mengambil alih Semarang.

28 September 1945
Huijer mendatangi markas Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Surabaya, agar melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk senjata yang berada di bawah komando dirinya kepada Huijer. Namun demikian sebagaimana sikap kaigun yang lain (seperti Laksamana Maeda di Jakarta), Shibata sangat simpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh karena itu ia menyerahkan senjata kepada Komite Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya) yang dipimpin oleh Soedirman dan Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji akan menyerahkannya kepada sekutu pada waktunya.

Tetapi KNI-Surabaya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas tentara angkatan laut Jepang sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR), kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan milisi/laskar yang masih belum terorganisir dengan baik.

1 Oktober 1945
Terjadi perkelahian diantara pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda yang dengan cepat berubah menjadi aksi massa di seluruh kota. Mereka menyerang lapangan udara Morokrembangan dan kamp interniran yang terletak di daerah pemukiman Darmo. Sementara itu markas Kempetai dan Angkatan Darat Jepang dikepung oleh sejumlah laskar yang bersenjatakan apa adanya, dari bambu runcing hingga ke senapan mesin.

4 Oktober 1945
Surabaya telah menjadi kamp bersenjata yang seluruhnya dalam tangan Indonesia. Semua penjara dibuka dan penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas tuduhan politik atau pidana telah bergabung ke dalam massa yang berkerumun di dalam kota itu. Pada hari itu juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa Huijer-lah yang bertanggung jawab atas keamanan kota tersebut.

8 Oktober 1945
Gubernur, TKR dan polisi berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang kemudian seluruhnya terseret menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang dan Belanda yang begitu mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka melaksanakan pengadilan rakyat yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati para tawanan (Jepang, khususnya) dengan melakukan hukuman mati dengan cara pemenggalan leher.

Kapten Huijer pun menjadi tahanan TKR demi keselamatan dirinya.

12 Oktober 1945
Tiba seorang pemuda dari Jakarta yang bernama Soetomo atau yang kemudian dikenal dengan nama Bung Tomo, seorang wartawan yang bekerja di kantor berita Domei. Ia membawa gagasan mendirikan pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio Pemberontakan” sebagai sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda.

13 Oktober 1945
Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai suatu organisasi yang terpisah dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan siaran-siaran radio yang dilakukan oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil mempengaruhi masyarakat santri yang memang menjadi mayoritas di Jawa Timur dan Madura, namun juga pemimpin-pemimpin “merah” terutama yang berada di dalam PRI.

22 Oktober 1945
Nahdhatul Ulama dari seluruh Jawa dan Madura melangsungkan rapat raksasa di Surabaya yang mana mereka menuntut, “Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia soepaja menentukan soeatoe sikap dan tindakan jang njata terhadap tiap2 oesaha jang membahajakan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannja” (Antara, 25 Oktober 1945)

25 Oktober 1945
Inggris mendarat di Tanjung Perak Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby yang juga merupakan Panglima Brigade ke-49 dengan tugas utama mengungsikan pasukan Jepang dan para interniran. Brigade ini berjumlah kurang lebih enam ribu pasukan dengan membawa juga pasukan elit Gurkha.

Mallaby sendiri dan wakilnya, Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo, kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji, bekas aktivis Gerindo, yang mewakili TKR Angkatan Laut. Setelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo, Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak akan menyelundupkan di tengah-tengah mereka pasukan Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administrastion).

26 Oktober 1945
Tanpa data intelejen yang komprehensif tentang kondisi Surabaya dan masyarakatnya yang sedang bergolak, Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten Shaw untuk menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat Surabaya mulai kehilangan kepercayaan terhadap Mallaby dan pasukannya.

Kondisi diperparah dengan selebaran yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta. Selebaran itu intinya berisi bahwa pihak Indonesia harus menyerahkan seluruh senjata mereka dalam waktu 48 jam. Tuntutan seperti ini akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dilakukan oleh Mallaby dan Moestopo.

27 Oktober 1945
Sekutu mulai melakukan agresinya. Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih memandang rendah terhadap kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu membanggakan brigade 49-nya dengan mendapatkan julukan “The Fighting Cock” selama bertempur melawan Jepang di hutan-hutan Burma.

28 Oktober 1945
Pasukan sekutu mengambil alih lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung penting seperti kantor jawatan kereta api, pusat telephon dan telegraf, rumah sakit Darmo dna lainnya.

Pertempuran besar pun tak terelakan antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000 tentara dan pemuda Indonesia. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghentikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.

Begitu terjepitnya hingga dalam buku Donnison “The Fighting Cock” ditulis “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya.

29 Oktober 1945
Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedddin datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.

Kemudian setelah membujuk agar tentara dan pemuda menghentikan pertempuran, mereka bertiga ditambah tokoh-tokoh Surabaya seperti Soedirman, Soengkono, Soerjo dan Bung Tomo melakukan perundingan dengan Mallaby dan Hawthorn. Hasil perundingannya adalah tentara sekutu sepakat untuk mundur dari Tanjung Perak dan Darmo, sementara Indonesia setuju mengizinkan interniran lewat secara bebas diantara kedua sektor itu.

Setelah melakukan perundingan, Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang dan menganggap kekerasan sudah berakhir.

30 Oktober 1945
Sewaktu melakukan patroli, mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.

Kematian Jenderal Inggris itu menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat berikutnya. Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI) memberikan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia kemudian mengirimkan seluruh Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya dibawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000 pasukan.

1 November 1945
Kapal perang HMS Sussex muncul di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama minggu berikutnya sekitar 8000 interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.

9 November 1945
Dengan semua para interniran (sandera) berhasil dibawa pulang, Inggris mulai melakukan aksi balas dendamnya atas kematian Mallaby. Seperti yang diceritakan Idrus,

“Sedjak beberapa hari sekoetoe mendaratkan serdadoe2 lebih banyak dan tank-tank raksasa. Tank-tank itu toeroen dari kapal seperti malaikal maut toeroen dari langit; diam2 dan dirahasiakan oleh orang jang menoeroenkannja” (Soerabaja, hal. 137)

Mansergh mengeluarkan ultimatum agar seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 keesokan harinya dan supaya orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan. Ultimatum itu disebarkan melalui udara ke seluruh kota.

Selain itu Mansergh secara eksplisit memperingatkan bahwa semua anak-anak dan wanita harus sudah meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 malam itu dan memberikan ancaman hukuman mati bagi setiap orang Indonesia yang membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.

Mendengar ultimatum itu para pemimpin Surabaya menelpon Jakarta untuk memperoleh keputusan tingkat nasional mengenai jawaban apa yang harus diberikan terhadap ultimatum Mansergh. Akan tetapi, baik Soekarno maupun Soebardjo (Menteri Luar Negeri) menyerahkan keputusan itu terhadap masyarakat Surabaya.

Jam 6 sore, elemen TKR dan pemuda menandatangani “Soempah Kebulatan Tekad” yang isinya,
Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD

Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !!!

Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945

Ttd

(1)   TKR Kota
(2)   PRI
(3)   BPRI
(4)   TKR Sidoardjo
(5)   BBI
(6)   TKR Laut
(7)   TKR Peladjar
(8)   P.I.
(9)   BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11)  TKR Djombang
(12) dll
Dan setelah melakukan diskusi yang cukup panjang dengan seluruh elemen yang ada di Surabaya, pada jam 23.00 malam Gubernur Soerjo mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan.

10 November 1945
Pada pukul 06.00 Inggris memulai serangannya, sementara itu Bung Tomo memanggil seluruh rakyat melawan penyerbu-penyerbu itu. Pemboman besar-besaran dari laut dan udara membinasakan sebagian besar Surabaya. Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota.

Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6000 personel dari brigade 49 The Fighting Cock.

David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66),

“Di pusat kota pertempuran adalah lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan. Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong.

Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”

Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu. Para pejuang Indonesia yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.

Menurut Ricklefs (2008) sedikitnya ada 6000 rakyat Indonesia yang gugur. Meski pihak republik kehilangan banyak tentara dan pemuda, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan lambang dan pekik persatuan demi revolusi.


Sumber :
(1)   Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan. Irna H.N. Grasindo. 1994.
(2)   Revolusi Pemuda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
(3)   Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(4)   http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November
(5)   http://umum.kompasiana.com/2009/11/23/pertempuran-surabaya-10-november-1945/

"KALIMANTAN" Sumber Bahan Bakar Vital Bagi Jepang Pada Perang Dunia II

Inilah sumber malapetaka besar bagi Jepang dan merupakan kemenangan besar Jenderal MacArthur yaitu dengan berhasil merebut Kalimantan – kemenangan tersebut dilakukan dengan invasi andalan menggunakan amfibi dan berhasil menguasai pelabuhan besar minyak Balikpapan di pantai timur – hal tersebut adalah kemenangan ganda.

Jenderal MacArthur sebagai Jenderal menangani sendiri, untuk menguasai dan mendominasi Kalimantan. Sekutu telah membebaskan Hindia Belanda dan pada hakekatnya mereka telah menyelesaikan kendali taktis mereka atas Pasific barat daya.



Sumur-sumur minyak di Kalimantan menghasilkan minyak bumi dalam jumlah yang besar dan memiliki kemurnian yang baik sehingga dapat bermanfaat sekali bila digunakan sebagai bahan bakar, pelumasan, dan tenaga diesel tanpa harus dilakukan pemurnian terlebih dahulu. Penaklukan atas Kalimantan akan memberi kita pangkalan minyak yang sangat dibutuhkan tepat berada di jantung kekuatan dalam operasi untuk melawan Jepang. Sampai sekarang minyak kita masih harus diangkut baik dari pantai barat Amerika menyeberangi Pasifik, atau dari Teluk Persia dengan pengangkutan yang jauh dan lama melalui lautan India.

Selama perang dunia kedua, Kalimantan, menjadi sumber minyak utama bagi Jepang hingga sampai akhirnya diblokade oleh Sekutu sehingga jaringan komunikasi dengan Indonesia putus. Sejak saat itu Jepang sangat bergantung hanya dari cadangan minyak yang dimilikinya. Minyak bumi dari Kalimantan, Sumatera, dan Jawa untuk beberapa waktu ini telah menjadi seperti emas bagi mereka yang tidak berharga.

Kami sangat menghargai Sekutu kami dari Australia atas perannya di Kalimantan. Divisi Ketujuh Australia yang naik ke darat di Balikpapan, seperti “Diggers” yang membuat pendaratan di Tarakan, di sebelah pantai timur laut Kalimantan, pada tanggal 1 Mei, dan di teluk Brunei, di sebelah pantai barat laut, pada tanggal 10 Juni.

Balikpapan sangat dipertahankan, tapi pemboman pra-invasi yang sangat intensif yang pernah ada di wilayah Pasifik barat daya mampu membuat perlawanan Jepang melunak, sehingga korban yang dialami Sekutu dilaporkan sangat sedikit. Australia telah mendaratkan pasukannya dengan armada kapal Sekutu dengan jumlah lebih dari 300 kapal yang berasal dari Amerika, Royal Australia (Angkatan Laut Australia), dan Royal Belanda (Angkatan Laut Belanda).

Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di dunia selain Greenland dan New Guinea dan memiliki luas sekitar sepersepuluh luas daratan Australia. Posisinya sangat strategis, terletak sebagai titik sentral dari sebuah kawasan antara wilayah Indo-Cina, Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Filipina. Ini menjelaskan betapa pentingnya pernyataan MacArthur bahwa “pengiriman kita sekarang dapat berlayar dengan pangkalan udara yang mampu mengcover ke setiap titik di Pasifik barat daya.


Sumber : The Gettysburg Times

Rabu, 27 April 2011

Dari Kairo Sampai Pemaksaan Penyatuan (Tamat)

Kegentingan hubungan kedua negara besar itu pun berakibat di Korea, yaitu semakin tidak mungkinnya Korea dipersatukan sebagai satu negara. Bahkan pemecahan negara ini mengarah semakin permanen. AS yang semakin khawatir akan dominasi komunis, menegaskan tidak akan mundur dari semenanjung ini. Komisi bersama pun terbukti telah gagal. Karena itu AS mengajukan persoalan Korea kepada PBB, mengusulkan agar Uni Soviet dan AS menyelenggarakan pemilu di wilayah pendudukan masing-masing sebelum 31 Maret 1948. Pemilu ini untuk memilih majelis nasional dan suatu pemerintahan nasional.

Tentara kulit hitam AS juga terlihat dalam Perang Korea dan tampak sedang menembakkan senapan mesin

PBB menyetujui usulan ini dan membentuk Komisi Sementara PBB untuk Korea (UNTCOK) guna mengawasi pemilu. Namun kenyataan dilapangan berbeda sekali: Kaum kiri atau komunis juga kuat di wilayah selatan, sehingga ada ancaman bahwa AS bisa terusir dari Korea jika pemilu dimenangkan komunis. Akhirnya Washington berpendapat lebih baik ada pemerintahan sendiri di bagian selatan garis lintang ke-38, yang akan menghentikan infiltrasi dan pengaruh komunis dari utara. Dia pun mendukung Dr. Synman Rhee, satu-satunya tokoh politik terkuat di selatan. Sebagian anggota UNTCOK seperti Australia dan Kanada berpendapat pemilu tak mungkin dilaksanakan secara terpisah-pisah, melainkan harus menyeluruh. Mereka masih berharap adanya Korea yang satu.


Pemisahan Korea
Meskipun muncul tentangan di kalangan UNTCOK, namun pemilu tetap dilaksanakan di selatan pada bulan Mei 1948, dengan hasil Syngman Rhee memperoleh kemenangan. Dia dengan cepat membentuk pemerintahan yang terpisah dari wilayah utara. Pemerintahan Republik Korea (RoK) atau Korea Selatan ini mengangkat Rhee sebagai presiden pertamanya.

Sementara itu di utara garis lintang, kaum komunis pun tidak tinggal diam. Mereka membuat konstitusi sendiri, dan memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Rakyat Korea atau Korea Utara, dengan Kim Il-sung sebagai perdana menteri pertama. Bulan Desember 1948, PBB yang dipengaruhi AS mengeluarkan resolusi yang hanya mengakui Republik Korea, karena di situlah UNTCOK dapat mengawasi jalannya pemilu. Tetapi kondisi politik di Selatan sendiri tak kunjung stabil, karena berbagai aksi menentang Rhee terus berlanjut.

Untuk mengakhirinya, Rhee bersikap represif dan memberlakukan keadaan darurat. Aksi kekerasan yang banyak memakan korban pun pecah, antara lain di Cheju-do, sebuah pulau di selatan semenanjung. Hanya karena dukungan Washington maka pemerintahan Syngman Rhee mampu bertahan. Rhee yang berambisi untuk menyatukan Korea, merasa tidak puas dengan skala bantuan militer dari AS yang sifat dan tujuannya hanyalah untuk defensif, bukan ofensif. Padahal Rhee menginginkan pesawat, kapal perang, dan persenjataan lainnya yang mampu melengkapi sedikitnya 100.000 pasukan. Washington setuju mendirikan Kelompok Penasihat Militer Korea (KMAG) untuk melatih militer Korea Selatan. Namun AS tidak siap bila harus membantu reunifikasi Rhee dengan menyerang Korea Utara.

Sekalipun begitu AS juga menyadari potensi pecahnya permusuhan lewat serangan oleh Korea Utara. Ironisnya, agar tidak terlibat lebih jauh, AS malah bermaksud menarik tentaranya dari Korea. AS hanya akan membantu Korea Selatan membangun kekuatan sendiri agar mampu bertahan. Sikap seperti inilah yang 20 tahun kemudan diulangi lagi di Vietnam dalam program yang terkenal dengan istilah “Vietnamisasi”, yaitu dengan mengurangi keterlibatan langsung pasukan Amerika di front dan menyerahkannya kepada pasukan Vietsel sendiri.

Sementara itu kondisi di Korsel sendiri semakin runyam. Presiden Rhee terjebak dalam pertengkaran dengan majelis nasional, serta bersikap makin keras terhadap oposisi. Washington sendiri terombang-ambing, karena politik luar negerinya waktu itu lebih mementingkan Eropa, namun untuk meninggalkan Korea juga tak mungkin sebab sudah kepalang basah. Korsel dijadikannya simbol demokrasi di Asia. Karena itu harus diselamatkan dari ekspansi kaum komunis. Perang dingin di Asia Timur pun semakin mengeras.

Di tengah suasana yang semakin tegang di Korea, Menlu Dean Acheson dalam pidato penting Januari 1950 di Washington menegaskan, bahwa perimeter pertahanan Amerika di Pasifik yang terjauh adalah Kep. Aleut, Jepang, dan Kep. Ryukyu serta Filipina. Dia tidak menyebut Formosa atau Korea Selatan sama sekali. Sehingga nantinya dia akan dipersalahkan seolah-olah telah mendorong Korea Utara untuk menyerang Selatan.

Dua-duanya berniat serupa apabila Presiden Rhee punya niat untuk mempersatukan kembali Korea dengan menyerang ke utara manakala kekuatan militernya sudah memungkinkan, maka PM Kim II-sung di Utara pun memiliki cita-cita serupa. Keduanya sama-sama nasionalis dan patriot tulen yang mendambakan Korea kembali sebagai satu negara dan satu bangsa. Persoalannya adalah perbedaan ideologi mereka, serta siapa yang lebih dulu merasa siap untuk melakukan serangan pertama. Washington sendiri memperkirakan suatu perang di Asia dalam rangka ekspansionisme komunis di Asia pasti akan terjadi. Tetapi kemungkinannya adalah di Formosa atau Indochina, bukan di Korea.

Ketumpulan analisis Washington tadi mungkin dikarenakan sejak 1945 setiap kali telah beredar isu bahwa komunis di utara akan menyerang selatan dengan dukungan Soviet. Namun itu terbukti hanya isu melulu, sehingga lama-lama kepekaan pun tergantikan oleh kekebalan terhadap isu semacam itu. Apalagi para ahli strategi Amerika juga melihat Soviet tidak menganggap Korea sebagai sesuatu yang penting, karena fokusnya lebih ke Eropa. Begitu pula karena kedekatan Seoul dengan PBB, rasanya tak mungkin jika Korsel akan diserang. Namun kenyataannya pada fajar 25 Juni, pasukan Utara tiba-tiba menyerbu ke Selatan, mengerahkan 110.000 paukan, 1.400 pucuk meriam, dan 126 buah tank.

Pasukan Tank Korut bersiap-siap untuk melakukan serangan


Meski semula AS keliru dalam perhitungannya megenai kemungkinan serangan dari Utara serta pecahnya perang di semenanjung ini, namun reaksinya terhadap serbuan itu sangat cepat. Selain meminta Dewan Keamanan PBB langsung bersidang, maka kekuatan militer Amerika pun diperintahkan mengamankan wilayah antara Seoul dengan Inchon, termasuk kemungkinan bertempur dengan pasukan Korut. Tujuan ini resminya untuk mengintervensi Korut terhadap evakuasi warga Amerika dari Seoul-I hon. Namun penugasan militer AS ini diputuskan sendiri oleh Presiden Truman tanpa mengacu pada PBB sama sekali. Ini merupakan presiden yang di kemudian hari diikuti oleh presiden Amerika lainnya seperti dalam perang Vietnam dan invasi ke Irak.

Tetapi apa yang melatarbelakangi serbuan Korut itu tetap tidak jelas. Bahkan ada yang berpendapat sebetulnya Selatanlah yang mula-mula melancarkan serangan, sesuai dengan ambisi Presiden Rhee untuk reunifikasi Korea. Tetapi pendapat seperti ini dibantah dengan kenyataan tidak berimbangnya kekuatan militer kedua pihak. Penulis dan sejarawan militer terkenal, Stephen Ambrose menyatakan, ofensif Korut itu “terlalu kuat, terlalu terkoordinasi baik, dan terlalu berhasil untuk suatu ofensif balasan.”

Pada saat perang pecah, kekuatan darat Utara terdiri dari 135.000 pasukan yang terlatih dan terorganisasi baik, termasuk 29.000 pasukan berpengalaman dari Manchuria. Mereka juga memiliki 150 tank, 110 pesawat tempur, dan ribuan pucuk artileri. Sebaliknya Selatan hanya memiliki sekitar 100.000 pasukan dan persejantaannya kurang lengkap, ditambah 25.000 polisi. Mereka tidak memiliki tank, artileri medium, pesawat tempur atau pun pengebom.


Preemptive strike
Memang benar bahwa perang ini diwarnai nuansa perang dingin antara AS dengan Uni Soviet. Namun banyak pengamat menyebutkan perang ini bukanlah kepanjangan perang dingin, melainkan lebih sebagai perang saudara yang sesungguhnya. Bahkan serbuan Korea Utara itu pun mungkin tanpa sepengetahuan Soviet maupun China, meskipun banyak pejabat Amerika yang berpendapat sebaliknya. Moskwa memang telah mengantisipasi bahwa perang bisa berkobar di Korea, namun hal itu diperkirakannya baru akan terjadi pada bulan Agustus.

Ketidaktahuan Soviet itu terbukti dari statusnya yang masih memboikot PBB dalam kaitan dengan penolakan keanggotaan RRC di PBB. Sehingga semua aksi AS di PBB sehubungan dengan krisis perang Korea berjalan lancar tanpa halangan atau pun veto dari Soviet. Sedangkan RRC ketika itu masih mengharapkan terbukanya komunikasi dengan AS dalam soal Formosa. China pun punya kesan bahwa Formosa tidaklah termasuk perimeter pertahanan AS di Pasifik, sehingga ada harapan Washington tidak akan menghalangi pengambilan Formosa oleh RRC. Sebaliknya jika China berusaha merebut Formosa setelah meletusnya perang di Korea, maka dapat dipastikan AS akan menjawabnya dengan kekuatan militer.

Figur Kim Il-sung yang acap digambarkan oleh AS sekadar sebagai boneka Soviet saja, memang mengakui kepemimpinannya di Utara tak lepas dari bantuan Soviet. Namun perintahnya untuk menyerbu ke selatan, lebih disebabkan keyakinannya bahwa AS tidak akan melakukan intervensi. Selain itu dia pun merasa lebih siap dibandingkan Selatan, serta masih berharap adanya dukungan Soviet manakala dia memerlukannya.

Perintah Kim juga tak lepas dari berbagai insiden di perbatasan sejak pertengahan 1949, serta ancaman Presiden Syngman Rhee untuk menyatukan kembali Korea lewat kekuatan senjata. Berbagai krisis politik dan ekonomi yang ketika itu tengah terjadi di Korsel, menggoda Kim Il-sung untuk melancarkan preemptive strike ke selatan. Sehingga dengan sekali serangan itu, ancaman dari Rhee dapat dimatikan dan sekaligus dia pun dapat mempersatukan Korea kembali.

Tetapi impiannya gagal. PBB dan terutama AS akhirnya menghentikan rencana besar Kim 11-sung. Apakah anaknya Kim Jong-il ingin melanjutkan dan mewujudkan impian sang ayah sebagaimana halnya George W. Bush menghidupkan kembali keinginan ayahnya, Presiden Bush Sr, mengalahkan Presiden Saddam Husein dari Irak – hanya sejarahlah yang dapat membuktikannya.


Tamat