Meski sekarang sering dilecehkan, setidaknya TNI AU pernah merasakan menjadi yang terkuat tidak cuma di Asia Tenggara tapi bisa jadi di Asia. Sebagai perbandingan, ketika itu China, India, dan Australia belum punya pembom strategis atau jet tempur Mach 2. Hanya AS yang mengoperasikan pembom B-58 Hustler, Inggris dengan V bombernya, dan tentu Rusia sendiri. Khusus untuk Tu-16, selain Indonesia juga dioperasikan oleh Mesir.
Untuk saat itu, keberadaan Tu16 memang cukup menakutkan. Dengan jangkauan terbang hingga 7.200 km, kecepatan mencapai 1.050 km per jam, dan ketinggian terbang hingga 12.800 km, wajar saja AURI sangat disegani. Apalagi muatan born yang bisa dibawa mencapai 9.000 kg. Ketika itu Tu16 dibeli untuk menutupi kemampuan B-25 yang sangat terbatas, disamping tentu embargo suku cadang dari AS. Saat itu AURI mengoperasikan Tu-16 di bawah kendali Wing Operasi 003. Wing ini membawahi Skadron 31 dengan kekuatan 14 Tu-16 Badger A sebagai skadron pembom strategis, dan Skadron 42 dengan 12 Tu-16 Badger B KS sebagai skadron peluru kendali udara ke darat.
“Tu-16 masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK) suatu siang di pengujung tahun 1950-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia, AURI ngotot. BK terus menguber Zhukov tiap kali bersua. Mungkin bosan dikuntit terus, Zhukov melaporkan keinginan BK kepada Menlu Rusia Mikoyan. Usut punya usut, kenapa BK begitu semangat? Ternyata, Letkol Salatun-lah pangkal masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (Suryadarma) menagih janji Bung Karno setiap ada kesempatan.”
Ketika ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun yang saat itu Sekretaris Dewan Penerbangan/ Sekretaris Gabungan Kepalakepala Staf kepada Suryadarma pada tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis. B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta) malah merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, AS mengembargo suku cadangnya Alhasil, gagasan memilild Tu-16 semakin terbuka.
Salatun yang menemukan proyek Tu-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957, menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring disetujuinya rencana pembelian Tu-16, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun, turut diperpanjang.
Terlihat rudal Kennel yang ditakuti, tergantung di sayap Tu-16.
Proses pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, barn terealisasi 1 Juli 1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Saat lobi pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, China pernah dilirik agar membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, China diminta menalangi dulu pembeliannya. Usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan China-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya malah China menawarkan Tu-4M Bull. Misi Salatun ke China sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang. Pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukanlah semata alat diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata. Padahal di saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.
Tahun 1960, Salatun berangkat ke Moskwa bersama delegasi pembelian senjata dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai tiba di Moskwa, delegasi belum tahu, apakah Tu-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah BK hanya cari senjata. Apa yang terjadi. Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.
“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategic selain Amerika, Inggris, dan Rusia sendiri. Hebatnya lagi, AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu16 dengan Anti Radiation Paint yaitu cat khusus antiradiasi bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya born nuklir,” tutur Salatun. Usul ditolak.
Segera AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Mulai 1 Juli 1961, ke24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama M-1601 yang mendarat di Kemayoran diterbangkan oleh Komodor Udara Cok Suroso Hurip. Peristiwa ini mendapat perhatian luas terutama dan kalangan intel AS.
Kesempatan pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dan dekat ini, memberikan kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan ke Madiun. Pesawat intai canggih saat itu U-2 Dragon Lady pun dilibatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan Tu16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat Blok Timur lainnya berjejer di Madiun.
Persiapan Trikora
Saat Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan Selatan. Dalam mendukung Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16. “Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya. Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Tu-16 dengan nomar registrasi 16001, yang berarti pesawat pertama yang tiba di Tanah Air. Karena kemampuan terbangnya yang jauh, tak jarang ketika itu Tu-16 terbang hingga memasuki wilayah udara Australia atau Malaysia. Sayang karena urusan politik, nasib Tu-16 berakhir muram. Kekurangan suku cadang jadi penyebab utama untuk kemudian pesawat ini harus gounded.
Selain memiliki 12 Tu-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41, AURI juga memiliki 12 Tu-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal antikapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti Belanda. Hantaman enam Kennel mampu menenggelamkan Karel Doorman: Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan.
HNLMS Karel Doorman, inilah kapal yang menjadi target utama dari awak TU-16. Bukan cuma awak TU-16 saja yang mengincarnya, tapi awak dari KRI Irian Jaya pun juga menjadikannya sebagai sasaran utama. KRI Irian Jaya pada waktu itu adalah kapal terbesar dibelahan bumi selatan.
Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan. Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung born Biak,” ceritanya mengenang. “Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket operation.
Awak Tu-16 di Morotai ini tidak akan pernah melupakan jerih payah ground crew. “Paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah Tu-16 dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai pesawat, jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah laut. Makanya, sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus. Derita awak darat itu belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke tangki pesawat yang berkapasitas kurang lebih 45.000 liter itu, masih menggunakan cara manual. Di suling satu per satu dari drum hingga empat hari empat malam. Hanya sebulan Tu-16 di Morotai, sebelum akhirnya ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.
Kennel memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah dilakukan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,” aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.
Diuber Javelin
Lebih tepat, di masa Dwikoralah awak Tu-16 merasakan ketangguhan Tu-16. Apa pasalnya? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari Butterworth, Penang.
“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.
Damanik menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.
Gloster Javelin, pesawat inilah musuh besar dari Tu-16 milik Indonesia
Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak, salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang. Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka, begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring Tu-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down). Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap mereka (menembak-Red), kalian langsung balas,” perintahnya. Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.
Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi, Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu, kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.
Segenap awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor (tail gunner). Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat. “Mungkin saya terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Lain lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan Tu-16 ke Medan lewat selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua Tu-16 selama Dwikora. Satu pesawat terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan,” katanya. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra.
Walau terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. BK memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau pengintaian ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti “polisi”, untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan keluar perbatasan.
Misi ala stealth
Masih dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, Tu-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu. “Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.
Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.
Walau begitu, misi tetap dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun sekitar jam satu malam. “Pak Wondo (pilot pesawat-Red) tak banyak komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di Wing 003 pukul 11 malam dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah, gunner Tu-16 yang baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke Australia.
Briefing berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan Madiun. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat pencegat F-86 Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo berputar agak jauh, ketika tiba di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata Sjahroemsjah.
Penyusupan ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12 malam. Pesawat membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Seperti berebutan, pamflet berhamburan keluar disedot angin yang berhembus kencang.
Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Rupanya, aku Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara mengantisipasi serangan udara. Akhirnya, setelah semua pamflet diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam penerbangan. Semua Tu-16 kembali dengan selamat.
Dapat dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup melakukan operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan. Kalaulah sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.
Sebenarnya RI tidak sendirian saat itu. India memberikan dukungan penuh. Hal ini terungkap ketika Zainal Sudarmadji bertemu dengan seorang pejabat tinggi India. “Bila Indonesia jadi menyerang semenanjung Malaya, AU India akan menyediakan air space-nya antara ketinggian 15.000 -30.000 kaki untuk tempat berputar armada Tu-16 AURI sebelum melakukan pemboman. Bahkan AU India akan menjaga sekitar indara point di kepulauan Andaman Nicobar, agar bebas dari gangguan elektronik Inggris (SEATO),” tuturnya saat itu kepada Zainal.
Nasib Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T -Bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan Tu-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Tidak dapat dipungkiri, Tu-16 paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, las pun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang aluminium,” ujar Bagio.
Namun Tu-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun. “Kami terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang juga sedikit rumit, karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang dan Kemayoran. Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia cukup memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat. Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora-Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16 ke Mesir.
Namun pasca G30S, kondisi pesawat-pesawat Rusia memang tragis. Seingat Suwandi Sudjono, pilot Tu-16, dalam setahun paling hanya 12 kali mereka menerbangkan Tu-16. Karena itu kanibalisasi tak terelakkan agar sejumlah pesawat tetap bisa terbang. Akhirnya pada Oktober 1970 dilakukan test flight Tu-16 nomor M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Tidak mudah karena adanya ketidakOckan suku cadang. Namun mereka masih berbesar hati karena menurut Subagyo yang mantan Komandan Wing Logistik 040, mesinnya masih banyak. Setidaknya ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, tanpa suku cadang yang lainnya.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Pnb Suwandi membawa krunya yaitu Kapten Pnb Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav Beny Subyanto menerbangkan M-1625. Pada hari itu, M-1625 adalah satu-satunya Tu-16 yang tersisa dan dalam kondisi siap terbang. Sungguh tragis!
Begitulah nasib Tu-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak Tu-16 pada Oktober 1970 menjelang HUT ABRI. Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta. “Sempat kesasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut diakui, keberadaan pemborn strategic mampu memberikan efek psikologis bagi lawanlawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan 1980-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS. “Wong nama saya masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.
Sekian tahun hidup dalam kedigdayaan, sampailah AURI (juga ALRI) pada masa yang teramat pahit. Pasokan suku cadang terhenti, nasib pesawat tak jelas. Ditulis oleh Harold Crouch (Politik dan Militer di Indonesia, 1978), AL dan AU yang bergantung pada teknologi yang lebih maju dari AD tidak dapat memelihara lagi dengan baik peralatannya.
Pada awal 1970, KSAU Marsdya Suwoto Sukendar mengatakan, hanya 15-20% pesawat AURI yang dapat diterbangkan, kapal ALRI hanya 40% karena ketiadaan suku cadang dari Uni Soviet. Tahun 1970, kemudian dikenang sebagai tahun pemusnahan persenjataan Blok Timur.
Sumber : Sejarah Perang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar