Selasa, 26 April 2011

Dari Kairo Sampai Pemaksaan Penyatuan

Mau tidak mau, suka tidak suka, krisis di Semenanjung Korea belakangan ini tidaklah terlepas dari apa yang pernah terjadi sebelumnya, yang berpuncak pada berkobarnya Perang Korea (1950-53). Perang yang sia-sia karena pada akhirnya semua pihak tidak ada yang menang atau pun kalah. Lebih hebatnya lagi, perang itu pun hingga kini resminya belum berakhir, karena hanya gencatan senjata (cease fire) sajalah yang menghentikan perang tersetut, dan bukannya perjanjian damai antara kedua pihak Sehingga apabila suasana prmusuhan masih kental seperti sekarang, hal ini tidaklah mengherankan. Namun konsekuensinya jauh lebih menakutkan apabila perang baru sampai pecah.

Syngman Rhee presiden Korsel yang pertama sedang berpidato di hadapan petinggi militer AS di Korsel pada bulan Oktober 1945. Jenderal AS berkaca mata adalah Letjen John Hodge. Para petinggi tersebut sedang membahas masa depan Korea


Bagi kedua pihak, perang yang baru akan menjadi moment of truth bagi mereka. Keduanya kali ini akan berusaha saling menghabisi, seolah-olah tidak ada kesempatan lagi pada lain waktu. It’s now or never, begitulah kira-kira semboyan mereka. Kalau perlu dan ketika nalar sehat sudah hilang, maka kemungkinan dipakainya senjata nuklir pun terbuka mengingat Korea Utara telah memilikiya, sementara AS pun pasti mendukung sepenuhnya Korea Selatan. Mengapa perseteruan saudara sebangsa itu menjadi begitu tajamnya, sehingga orang di Korea Utara yang kedapatan menyimpan selebaran yang terbawa balon dari selatan pun harus menghadapi ajal di depan regu tembak (Kompas, 25 Januari 2011). Seberat itukah dosa mereka sehingga dieksekusi di muka umum. Tetapi itulah kenyataan yang menggambarkan betapa antipati kedua saudara sudah sedemikian besarnya.

Padahal perseteruan mereka itu hanyalah warisan dari persaingan dan permusuhan antara dua kekuatan besar seusai Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dengan sistem kapitalismenya yang berhadapan dengan komunisme Uni Soviet. Saat-saat itu AS sedang dilanda ketakutan yang mungkin berlebihan terhadap ancaman ekspansi komunis diseluruh dunia. Kecemasan terhadap kemungkinan subversi komunis itu pun misalnya tercermin dari gerakan `McCarthyisme’ di AS, ketika orang Amerika seperti kesetanan menghadapi isu apa pun yang dianggap berkaitan dengan komunis.

Ketakutan ini juga menyangkut Korea, menyusul jatuhnya China ke tangan komunis pimpinan Mao Zhe-dong tahun 1949 dengan kaburnya kaum nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek ke Formosa (Taiwan). Sehingga begitu perang di Korea meletus pada 25 Juni 1950, McCarthy pun berkoar mengenai “matinya para pemuda Amerika di tanah Korea, sebagai akibat kelompok tak tersentuh di Deplu AS yang menyabot bantuan untuk Korea Selatan. Ia serang semua pihak di lingkungan pemerintahan AS dan para politisi yang dianggapnya tak sejalan dengan sikap anti-komunismenya. Semua dituduhnya sebagai komunis atau agennya.

Lima tahun sebelum perang pecah, hubungan AS dengan Uni Soviet mengalami kemerosotan tajam. Padahal selama PD II persekutuan mereka menghadapi fasisme Jerman-Jepang berjalan begitu baik. Bahkan AS memberi bantuan atau pinjaman apa saja kepada Moskwa agar mampu bertahan terhadap invasi Jerman Nazi, mulai dari kapal, pesawat, kendaraan perang, hingga apa saja yang diperlukan untuk mengalahkan Hitler. Tetapi begitu musuh bersama habis, maka mereka sendiri saling berhadapan.

Kesalahpahaman atau persepsi keliru satu sama lain semakin sering terjadi, bahkan banyak yang mengeras menjadi mitos-mitos yang justru makin membuat kondisi bertambah gawat. Namun apabila menilik latar belakang sejarah, maka antara pusat kapitalisme dengan pusat komunisme internasional itu dari awal memang tidak pernah baik. Bersama kekuatan Barat lainnya, AS ikut mengintervensi perang saudara di Rusia menyusul revolusi oleh kaum komunis tahun 1917. AS tidak mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933, sementara Moskwa sendiri juga acap menyerukan revolusi dan penghancuran kapitalisme Amerika. AS juga dibuat kaget dengan aksi pembersihan kejam oleh Stalin di negerinya tahun 1930-an, ditambah adanya pakta Soviet dengan Nazi tahun 1939 yang membukakan pintu bagi Hitler untuk menyerbu Polandia sebulan kemudian.


Hawaii dari Kairo
Pada awal 1945 para pemimpin Sekutu dan Soviet bertemu di Yalta, sebuah resor di pantai Laut Hitam. Di sini mulai timbul kesan, bahwa persatuan dan persahabatan antara Amerika dan Uni Soviet akan segera berakhir. Namun pertemuan di Yalta membuktikan sebaliknya. Pertemuan ini justru menunjukkan betapa aliansi mereka masih kokoh. Presiden Franklin D. Roosevelt membeberkan visinya usai PD II yang tetap akan menjaga keutuhan Grand Alliance bersama para sekutunya termasuk Uni Soviet, Inggris, dan China. Roosevelt percaya diri bahwa dia dapat mengelola hubungan baik dengan Josef Stalin, pemimpin Soviet. Sebaliknya Stalin pun menunjukkan indikasi bahwa dia pun menyukai dan mengagumi Presiden Amerika itu.

Patung pasir yang mengganbarkan tokoh besar pada masa itu, Churchil, Rosevelt, dan stalin dalam pertemuan di Yalta, Laut Hitam, Turki. Ketiganya masih menunjukkan kekompakan sebagai sekutu.

Bersama PM Inggris Winston Churchill, mereka mengeluarkan pernyataan, antara lain dalam tempo tiga bulan sesudah Jerman menyerah, maka Uni Soviet harus menyatakan perang terhadap Jepang. Sebagai kompensasinya, Soviet memperoleh wilayah yang semula dikuasai Jepang, seperti Kepulauan Kuril dan bagian selatan P. Sakhalin serta Port Arthur, yang tahun 1904 direbut oleh Jepang dari tangan Rusia.

Namun dibalik itu, beda visi antara AS dengan Soviet mulai naik kepermukaan. AS yang bervisi internasionalis atau dunia yang terbuka sesudah perang usai, ternyata tidak kompatibel dengan visi Soviet yang memandang dunia terbagi dalam lingkungan pengaruh (sphere of influence) mereka yang menang perang, termasuk Eropa Timur yang dikuasai oleh Soviet. AS merasa dikhianati dengan determinasi Soviet membagi-bagi dunia dalam lingkungan pengaruh tersebut. AS berbalik memandang bekas sekutunya menghadapi fasisme itu sebagi kekuatan yang ekspansionis dan totaliter, sehingga harus dihadapi dengan kombinasi sikap curiga dan ketegasan.

Sesudah Harry Truman menggantikan Presiden Roosevelt yang wafat menjelang berakhirnya PD II, maka ketegangan antara pusat kapitalisme dengan pusat komunisme itu pun semakin meningkat. Masalah Korea pun mulai dimunculkan lagi oleh Truman dan Stalin. Sejak konferensi di Kairo November 1943, para pemimpin Sekutu telah menggariskan bahwa “pada waktunya Korea akan dibebaskan dan menjadi negara merdeka.”

Perangko yang menggambarkan ketiga tokoh besar itu pun diproduksi oleh Soviet, dalam ramgka memperingati 50 tahun Pertempuran Besar

Selama 40 tahun sebelumnya sejak perang Jepang - Rusia tahun 1904, Korea dianeksasi Jepang dengan brutal. Jepang ingin mengabsorsi Korea sebagai wilayahnya secara sepenuhnya dengan menindas semua perlawanan rakyat Korea. Bahkan berbagai identitas kenasionalan bangsa Korea pun dihancurkan dan dihapuskan demi `menyulap’-nya menjadi Jepang. Uni Soviet ikut menyepakati bahwa Jepang tidak akan diizinkan lagi untuk memiliki Korea. Hal ini ditegaskan kembali dalam konferensi di Teheran dan Postdam.

Dalam pertemuan di Kairo, sebetulnya Roosevelt tidak menyetujui ide pedudukan semenanjung Korea oleh salah satu kekuatan manapun. Dalam gambarannya, maka Korea memerlukan semacam dewan perwalian bersama (multipower trusteeship) selama periode tertentu hingga paling lama 40 tahun sebelum memperoleh kemerdekaan penuh. Roosevelt tidak menyetuju gagasan pendudukan terhadap Korea, sebab itu hanya akan menyebabkan rivalitas antara kekuatan besar. Persaingan semacam itulah yang pernah memicu konflik China-Jepang yang berebutan pengaruh di Korea awal abad ke-20, yang kemudian disusul perang Jepang versus Rusia tahun 1904-05.

Roosevelt juga ingin menghindari kesalahan tahun 1930-an ketika tidak ada usaha untuk menyetop ekspansi Jepang di Asia maupun agresi Jerman di Eropa Tengah. Karena itu dia pun disatu pihak menekankan arti penting hubungan dan kerjasama antara AS dengan Uni Soviet, namun pada pihak lain menyadari bahwa suatu pendudukan oleh Soviet di Korea akan mengancam posisi AS di Pasifik. Pendudukan itu hanya akan memperkuat posisi Soviet di Asia Timur Laut tanpa imbangan, mengingat Jepang sudah keok dalam PD II.

Namun sejarah menunjukkan AS gagal membuat pengaturan yang konkret mengenai Korea pasca perang. Kegagalan ini disebabkan sikap Washington yang sewaktu perang masih berlangsung, selalu menunda-nunda keputusan politik tentang berbagai hal pasca-perang. Roosevelt sendiri juga punya kecenderungan untuk menggantung atau mengulur masalah-masalah yang sulit. Padahal begitu perang dengan Jepang berakhir pada 15 Agustus 1945, kalangan Deplu AS sudah memperingatkan bahwa pendudukan oleh Soviet terhadap Semenanjung Korea akan langsung mengancam kepentingan keamanan Amerika di Timur Jauh.

Tetapi gayung itu tidak bersambut. Bahkan para petinggi militer di Pentagon bersikukuh bahwa Korea tidaklah memiliki nilai strategis. Lebih baik kekuatan AS dipakai di tempat-tempat lain yang lebih penting. Sekalipun demikian Truman yang belum lama menjabat sebagai presiden dan tidak menduga Jepang akan bertekuk lutut begitu cepat, masih mau mendengar pendapat staf Deplu yang menganut garis keras tentang Korea. Truman sendiri yang mulai merasakan hubungan dengan Uni Soviet sudah tidak seharmonis dulu, menyetujui usulan untuk mencegah pendudukan seluruh Korea oleh Soviet, dengan penetapan adanya pembatas pada garis lintang ke-38 di Semenanjung Korea. Bagian utara garis diperuntukan bagi Soviet, dan zona selatan untuk AS.

Bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar