Selasa, 31 Mei 2011

Kampanye Sekutu di Okinawa Pada Perang Dunia 2

Introduction
Selama berbulan-bulan setelah jatuhnya Saipan pada bulan Juli 1944, para ahli strategi Amerika telah mencari pulau-pulau strategis terdekat lainnya yang dapat diharapkan sebagai pangkalan untuk penyerbuan akhir ke Jepang. Sesuai dengan keputusan Konfrensi Honolulu pada musim panas tahun itu, Jenderal MacArthur berhasil melaksanakan tugasnya menduduki Lyte pada bulan Oktober, dan dia kini sudah berada di Luzon. Begitu Iwo Jima direbut, Laksamana Nimitz berkeinginan untuk menyerang Formosa (sekarang Taiwan), tetapi Formusa akhirnya diabaikan karena Okinawa dianggap lebih baik. 

Pulau yang panjangnya 60 mil itu merupakan yang terbesar di Kepulauan Ryukyu dan hanya berjarak 560 kilometer dari Kyushu dan 1.600 kilometer dari Tokyo, sehingga dapat menjadi pangkalan pembom yang ideal. Okinawa dan pulau satelitnya, Ie Shima, dapat memberi tempat bagi lapangan udara yang cukup untuk menampung sekitar 800 pembom dan pesawat pemburu pengawal yang diperlukan. Para anggota staf Nimitz berpendapat bahwa situasi pertempuran akan mirip dengan pertempuran di Iwo Jima.


Jalan Menuju Okinawa
Invasi Okinawa melebihi semua operasi sebelumnya di kawasan Pasifik. Nimitz, meskipun ditentang oleh Jenderal Le May, menuntut agar semua pesawat pembom B-29 mengurangi serangannya terhadap Jepang untuk mengambil bagian pada pelumpuhan pangkalan-pangkalan musuh di Okinawa. Untuk memperlancar penyerbuan terhadap Okinawa, pasukan Amerika didaratkan di pulau-pulau kecil di sekitarnya. Pendaratan di Kepulauan Kerama di selatan Okinawa ternyata membawa keuntungan yang tidak terduga. 

Peta Strategi Milik Sekutu Untuk Kampanye di Okinawa

Di Kerama, pasukan Amerika menemukan sekitar 350 perahu berawak yang dilengkapi dengan bahan peledak untuk melancarkan serangan bunuh diri terhadap kapal-kapal Amerika. Perahu-perahu itu kemudian dihancurkan. Pasukan Amerika juga berhasil mengambil alih Keise Shima yang letaknya hanya sekitar 10 kilometer di lepas pantai barat daya Okinawa. Dengan demikian, Amerika dapat menghujani pulau itu dengan tembakan ganas selama enam hari, sementara pembom-pembom menebar muatan mautnya dari udara. Di tengah-tengah neraka itu, para penyelam Amerika dari UDT (Underwater Demolition Team, Regu Peledakan Dalam Air) membersihkan pantai Okinawa dari ranjau-ranjau laut Jepang untuk memperlancar penyerbuan.

Pasukan penyerbu Amerika mendarat di pantai Okinawa pada hari Paskah, tanggal 1 April 1945. Para prajuit ini berasal dari Angkatan Darat ke-10 pimpinan Jendral Simon Bolivar Buckner. Kesatuan ini terdiri atas para veteran yang telah ditempa dibelantara medan perang lainnya di Pasifik. Divisi-divisinya telah dikenal baik: Marinir ke-1 dari Guadalcanal, New Britania dan Peleiu; Marinir ke-2 yang diposisikan sebagai cadangan dari Tarawa dan Saipan; Divisi ke-96 dari Leyte; Divisi ke-27 dari kepulauan Marshall dan Saipan; Divisi ke-7 dari Attu dan Lyte; Divisi ke-77 dari Leyte dan Guam; sedangkan Marinir ke-6 yang baru dibentuk terdiri atas para serdadu veteran Eniwetok, Guam dan Saipan. Para serdadu dan marinir ini, prajurit elit di Pasifik, akan memerlukan pengalaman yang mereka peroleh dalam pertempuran-pertempuran tak terhitung dengan Jepang akibat taktik pertahanan baru sang lawan.


Taktik Baru Jepang
Staf umum Kekaisaran di Tokyo telah memutuskan bahwa taktik ala Banzai terlalu mahal, dan teori “temui mereka di pantai” diganti dengan “biarkan musuh mendatangi kita”. Taktik semacam ini mengambil korban jiwa yang besar di antara pasukan A.S. yang merebut Iwo Jima.

Taktik yang sama menunggu Angkatan Darat ke-10 di Okinawa, di mana Jendral Ushijima Mitsuru, seorang veteran perang Birma, memegang komando Angkatan Darat ke-32 bersama kepala stafnya, Letnan Jendral Cho Isamu, yang cemerlang. Sebagai seorang realis, Ushijima mengerti benar kekuatan apa yang dihadapinya. Tidak ingin menghambur-hamburkan persediaan, ia merencanakan suatu sistem pertahanan habis-habisan di selatan pulau itu. Strategi terakhir Jepang untuk Okinawa termasuk juga Kamikaze pada tingkat maksimal. Ushijima harus menunggu untuk membuka perangkapnya sampai tibanya satuan-satuan Kamikaze dari pulau-pulau utama dan menghancurkan ratusan kapal perang yang berada di lepas pantai. 

Setelah pasukan darat A.S. diputuskan hubungannya dengan kapal-kapal perbekalan dan bala bantuan yang seperti tak terbatas itu, barulah Ushijima dapat melancarkan serangan guna memperoleh suatu kemenangan luar biasa bagi Jepang dan Kamikaze itulah kuncinya. Jika mereka gagal, usaha Ushijima boleh dikatakan tidak berguna sama sekali. Sang Jenderal mengamati dengan diam-diam ketika satuan tempur A.S. menduduki Kerama. Ia juga mengawasi dengan tenang di saat barisan serdadu-serdadu pertama bergerak di pantai-pantai pulau itu pada tanggal 1 April.


Pendaratan
Titik pusat dari pulau itu, yang terletak pada sungai Busha, dipilih sebagai lokasi pendaratan. Divisi Marinir-1 dan ke-6 beserta Divisi Infanteri ke-7 dan ke-96 didaratkan oleh 113 kapal yang berada di bawah pimpinan Laksmana Raymond K. Turner. Tujuan mereka ialah Desa Hagushi yang di belakangnya memiliki dataran yang menanjak sedikit demi sedikit, sehingga menyediakan jalan yang lancar dari basis pendaratan menuju dua sasaran utama, lapangan udara Yontan dan Kadena, masing-masing hanya sekitar 1,5 kilometer dari pantai.

Marinir AS bersiap-siap mendarat di Okinawa

Kolumnis surat kabar kawakan Ernie Pyle, yang ikut mendarat bersama Marinir, tercengang oleh pemandangan tenang di sekitarnya; “Belum pernah saya melihat pantai penyerbuan seperti Okinawa,” lapornya. “Tidak ada prajurit yang tewas atau terluka di seluruh sector ini. Korps kesehatan duduk di antara beberapa karung berisi pembalut, plasma dan usungan, karena tidak ada pekerjaan. Tidak ada satu kendaraan pun yang terbakar, atau perahu yang hancur di terumbu atau di pantai. Pembantaian besar-besaran yang hampir tak terhindarkan dalam suatu serbuan secara mengagumkan dan menggembirakan tidak terjadi di sana.”

Tidak ada perlawanan apa pun. Timbul pendapat bahwa musuh tidak ada di Okinawa. Pada hari pertama pendaratan, pulau itu sudah terpotong dan pendudukan lapangan udara Yontan dan Kadena hanya menelan korban dua orang tewas. Komandan resimen yang memulai serbuan itu berseru lantang: “Kirim saya seorang Jepang, hidup atau mati. Anak buah saya belum melihat satu pun.…”

Empat puluh delapan jam kemudian setelah pendaratan, Divisi-96 melintasi pinggang pulau dan mencapai pantai sebelah timur. Setelah itu, Marinir ke-6 menuju ke utara, satuan-satuan lain bergerak ke selatan, menuju ke arah ibukota, Naha. Baru pada tanggal 5 April, pasukan A.S. yang bergerak ke selatan di Okinawa mulai menyadari bahwa perlawanan sebenarnya baru dimulai. Seorang penulis kronik secara singkat menggambarkan situasi baru itu: “Bulan madu telah usai.”

Pada saat itu, para prajurit Amerika bergerak menuju pos-pos pertahanan Jenderal Ushijima yang tersembunyi. Di saat inilah ia melepaskan suatu kejutan hasil ciptaannya sendiri, yaitu pemusatan artileri terbesar yang pernah dilakukan oleh Tentara Jepang pada satu tempat sepanjang masa perang. Dua ratus delapan puluh tujuh pucuk artileri berat mulai menembaki serdadu-serdadu Amerika yang segera bersembunyi dengan panik ke dalam lubang-lubang perlindungan. Gerakan maju mereka ke arah selatan mendadak terhenti dan korban-korban pun berjatuhan.


Siksaan Kamikaze
Siasat menunda yang direncanakan oleh Ushijima di Okinawa menyebabkan armada raksasa A.S. tertahan hingga tak dapat beranjak serta memaksanya bertindak sebagai pengawal dan jalur perbekalan bagi serdadu yang bertempur di darat. Kekuatan angkatan laut yang tertambat dan tidak dapat memencar atau beroperasi dengan leluasa itu sangat rentan terhadap serangan udara. Komando Tertinggi Jepang sudah memperkirakannya dan bermaksud untuk menghancurkan sejumlah besar armada Sekutu yang akan sangat diperlukan untuk penyerbuan ke Jepang sendiri.

Para Kamikaze muda yg disiapkan untuk pertempuran di Okinawa. Sangat terlihat bahwa tidak tampak sedikitpun kesedihan diwajah mereka.

Tetapi armada laut Jepang tidak mampu melancarkan suatu serangan laut secara konvensional. Sebagian besar kapal induk, kapal tempur, dan penjelajah mereka telah ditenggelamkan atau rusak berat, sebagai korban akibat dari serangkaian pertarungan dengan Angkatan Laut A.S. Para laksamana Jepang yang putus asa kemudian menyusun suatu rencana kontroversial yaitu merelakan sisa Armada kedua --kapal tempur raksasa Yamato, penjelajah ringan Yahagi dan delapan kapal perusak-- akan dikorbankan untuk memancing kapal induk Amerika supaya keluar dari Okinawa. Selanjutnya, mereka harus merapat di pulau itu dan bertempur sampai mati melawan pasukan Amerika di sana.

Namun tulang punggung rencana Jepang tersebut berada di tangan pasukan Kamikaze. Ribuan sukarelawan muda yang tidak terlatih tetapi setia kepada asas Bushido dan siap mempertaruhkan nyawanya demi Kaisar dan tanah air direkrut untuk mengemudikan segala macam pesawat bermuatan bom untuk ditabrakan ke kapal-kapal A.S. Serangan Kamikaze ini diberi kata sandi ‘Ten Go’ (Operasi Surga) di bawah pimpinan Laksamana Madya Ugaki Matome. Serbuannya akan berupa rentetan serangan dalam formasi massal yang disebut ‘kikusui’ (seruni melayang). Nama ini dimaksudkan untuk mencerminkan kemurnian semangat Kamikaze.

Kikusui No. 1 dilancarkan pada tanggal 6 April. Ratusan pesawat Angkatan Laut dan Darat tinggal landas dari lapangan udara di Formosa dan Kyushu dan menuju Okinawa.  Setiap penerbang mengenakan hachimaki putih di keningnya; surat-surat salam perpisahan pun telah dikirimkan ke keluarga masing-masing. Satuan-satuan tempur Amerika pertama yang mencium kehadiran pesawat-pesawat berani mati itu adalah kapal-kapal perusak yang ditempatkan di sebelah utara dari pantai-pantai penyerbuan. Kapal-kapal ini disiagakan di 16 stasiun piket radar yang ditempatkan secara terpisah dalam bentuk lingkaran tak teratur di pulau itu, sepanjang jalur penerbangan yang kemungkinan besar akan dilewati penyerang yang datang.

Kapal-kapal perusak ini berfungsi ganda: sebagai penjaga sekaligus “domba korban”. Sambil tetap mengawasi barisan utama kapal-kapal di selatan, mereka pun bertugas menjadi sasaran Kamikaze dalam usaha menjauhkan “setan-setan udara” itu dari kapal induk raksasa yang sedang menunggu di sekitar pantai. Pesawat-pesawat Jepang muncul secara berpasangan dan dalam kelompok-kelompok besar. Meskipun sebenarnya mereka diharapkan untuk menghantam kapal-kapal induk musuh, namun eksistensi kapal perusak Amerika yang tidak terlindung membuat mereka tidak melihat lebih jauh lagi.

Sepanjang pagi itu, kapal-kapal perusak ini menderita kerusakan parah akibat angin sakal yang bertiup dari haluan. Angkasa dipenuhi kabut hitam dari meriam penangkis pesawat terbang dan air laut dihiasi lingkaran-lingkaran putih yang dihasilkan berondongan senjata pompom ketika kapal-kapal perusak itu memberondong tiap pesawat yang mendekati mereka. Meskipun Jepang menderita kerugian yang tidak sedikit, namun keadaan kapal-kapal lawan juga buruk. Paling sedikit 24 kapal tenggelam atau mengalami kerusakan parah akibat serangan pesawat-pesawat berani mati yang gesit itu.

Keesokan harinya, tanggal 7 April, unsur laut dari Kikusui No. 1 --kapal perkasa Yamato dan armadanya-- berlayar dengan kecepatan penuh menuju Okinawa. Tetapi saat muncul dari Selat Bungo, armada itu dipergoki dua kapal selam Amerika yang segera melaporkan posisinya ke Gugus Tugas 58. Pukul 8.32 pagi kapal-kapal itu terlihat oleh pesawat pengintai dari kapal induk Essex. Laksamana Mitscher memerintahkan kapal-kapal induk dari Gugus Tugas 58 untuk melancarkan serangan umum. Ratusan pesawat pembom, pesawat torpedo dan pemburu tinggal landas secara bergelombang untuk menghadapi lawan. Gelombang kedua sebanyak 167 pesawat tiba di atas Yamato.

IJNS Yamato, merupakan kapal tempur terbesar didunia pada saat itu

Segera setelah tengah hari, pesawat-pesawat Amerika mulai menggempur Yamato dan pengiringnya. Serangan pertama menenggelamkan sebuah perusak dan menyebabkan penjelajahnya rusak berat. Yamato terkena dua bom dan satu torpedo, lalu membelok ke barat, dan kemudian ke selatan, dengan harapan dapat menyelamatkan diri dalam cuaca badai. Tetapi usaha itu gagal. Sekitar pukul satu siang, ketika penyerangan berakhir, mereka telah menghantam Yamato dengan lima torpedo, dan meninggalkan kerusakan yang sangat parah.

Gempuran itu langsung dilanjutkan oleh 106 pesawat dari gelombang ketiga. Satuan udara dari USS Intrepid sedikitnya menghantamkan delapan bom dan sebuah torpedo ke Yamato. Ketika pembom torpedo dari USS Yorktown memulai serangan mereka, kapal itu sangat miring ke kiri dan perut bawahnya yang rawan tersibak.
“Tembak dia di perutnya, sekarang!” perintah pemimpin kelompok pesawat Yorktown. Empat torpedo lagi meledakkan dibagian bawah Yamato.

Kapal perang raksasa itu diporakporandakan oleh rangkaian ledakan dari dalam, kemudian terbalik dan mulai tenggelam. Dari 2.767 awaknya, 23 perwira dan 246 pelaut dapat diselamatkan. Yahagi dan empat perusak lainnya mengalami nasib yang sama, sehingga korban jiwa pihak Jepang meningkat hingga 3.665 orang tewas, termasuk Laksamana Ito Seichi, panglima Armada Kedua. Kerugian yang diderita pihak Amerika adalah 12 pilot dan 10 pesawat.

Pada hari-hari selanjutnya, serangan Kamikaze ditingkatkan. Suatu senjata bunuh diri baru, ‘baka’, memulai pemunculannya dalam aksi penenggelaman perusak USS Mannert L. Abele. Alat bunuh diri ini merupakan sebuah bom berawak yang memiliki kecepatan tukik hingga 800 kilometer perjam. Dalam aksi Kamikaze ini, sekitar 30-an kapal A.S. ditenggelamkan dan 350 buah mengalami kerusakan, antara lain kapal induk USS Enterprise, salah satu kapal veteran perang di Pasifik.

Selama kampanye Okinawa, sekitar 1.900 kamikaze mengorbankan nyawanya, tanpa dapat mencapai hasil yang barangkali dapat dicapai oleh pilot-pilot yang terlatih baik. Total kehilangan pesawat Jepang selama pertempuran di Kepulauan Ryukyu adalah 7.800 pesawat, baik yang ditembak jatuh maupun yang dihancurkan di darat.


Pertempuran Ganas
Meskipun superiotas Amerika tidak dapat dipungkiri, tetapi para serdadu dan marinir Amerika tetap harus berjuang untuk tetap hidup di Okinawa. Di sebelah selatan yang terpotong oleh jurang-jurang, bukit-bukit dan dipertahankan secara kuat oleh pasukan Jepang, serdadu Amerika berlaga di wilayah yang secara unik mengingatkan keadaan di Jepang sendiri, sudah biasa bagi musuh namun segalanya asing bagi mereka.

Marinir AS harus menggunakan tank pemyembur api untuk melawan pasukan Jepang yg bersembunyi digua-gua

Kebengisan pertempuran memuncak hari demi hari. Para Marinir yang berlari maju ke Ponok Cadas --yaitu dua bukit karang yang tinggi, penuh terowongan dan sarang mortar serta senapan mesin-- dihentikan oleh tembakan gencar Jepang sebelum mencapai lereng dibawahnya. Tank-tank penyembur api Amerika membanjiri bukit-bukit itu dengan bergalon-galon bahan bakar cair, memanggang ratusan orang Jepang yang bersembunyi di gua-gua. Menurut kesaksian seorang yang selamat, “Rasanya seperti ayam yang digoreng.” Mereka yang berhasil lolos dari gempuran ini, di luar gua disapu oleh prajurit infanteri yang sudah menunggu dengan butiran-butiran timah panas.

Meriam-meriam Ushijma sendiri tanpa henti-hentinya menembaki mangsanya: prajurit Amerika, yang setengah mati ketakutan bersembunyi di lubang-lubang dangkal. Di bawah dentaman dan raungan senjata api yang tiada hentinya, tidur bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi serdadu Amerika, dan kelelahan mental serta fisik segera menjadi gejala umum. Penderita keletihan tempur mulai memadati rumah sakit divisi sejak pertengahan April, dan sebelum perang berakhir  sekitar 13.000 prajurit Amerika sudah berada di tepi jurang keruntuhan sehingga Okinawa menghasilkan penderita keletihan tempur yang terbanyak dan terparah dalam Perang Pasifik.


Banzai Terakhir
Suatu pertikaian sengit di markas besar Jenderal Ushijima memberikan keuntungan yang tidak terduga bagi Amerika. Jenderal Cho, yang nalurinya selalu memberontak terhadap pertahanan statis, meminta dilakukannya usaha besar-besaran untuk memukul mundur tentara Amerika. Sebagian besar perwira staf memihak Cho, sehingga Ushijima pun akhirnya menyetujui permintaan Cho.

Serangan balasan Jepang dilancarkan pada tanggal 4 mei. Suatu pemboman dahsyat mengawali serbuan diikuti kekacauan dan pertempuran jarak dekat, di mana kawan dan lawan saling melewati tanpa menyadari di tengah-tengah medan laga yang berubah-ubah. Ratusan prajurit Jepang dihancurkan di pantai oleh unsur Divisi Marinir 1, yang mengarahkan senjatanya dengan bantuan pekik banzai mereka. Sebaris serdadu Amerika yang sedang bersantai dibantai oleh prajurit Jepang. Suatu gerakan maju Jepang menjelang sore tanggal 4 Mei berhasil memasuki garis belakang Amerika sepanjang lebih dari satu mil. Namun suatu berondongan senjata yang dahsyat menghabisinya.

Pada hari berikutnya, hasil serbuan Cho sudah jelas bagi Ushijima. Dia memerintahkan pasukannya yang terpukul hebat untuk kembali ke tempat-tempat persembunyian mereka dan kembali mengambil sikap bertahan. Pengaruh Cho dan para pendukungnya runtuh melihat kenyataan pahit ini. Keadaan pasukan Jepang kian memprihatinkan sepanjang bulan Mei dan permulaan bulan Juni ketika pasukan Amerika dengan perlahan-lahan mendobrak maju ke sebelah selatan pulau itu. Pasukan Ushijima tidak mampu membendung gerak maju tersebut. Pada tanggal 31 Mei, Puri Shuri, benteng terakhir Jepang, jatuh ke tangan Amerika.

Serdadu-serdadu Amerika yang memasuki bekas markas besar Angkatan Darat ke-32 Ushijima menyaksikan suatu kehancuran yang sempurna. Granat-granat dan bom-bom berdaya ledak tinggi telah memporakporandakan seluruh kota yang mengelilingi puri itu. Hanya sebuah gereja Metodis dan sebuah bangunan beton bertingkat dua yang masih berdiri. Puri Shuri, tempat raja-raja Okinawa dulu memerintah, tinggal puing-puingnya saja. Pasukan jepang mundur ke selatan dan meninggalkan begitu saja mayat-mayat rekannya. Pusat pertahanan terakhir yang terorganisasi bubar sudah.


Jatuhnya Okinawa
Tanggal 4 Juni, Angkatan Darat ke-32 Jepang hanya tersisa sebanyak 30.000 orang, yang kebanyakan terdiri atas pasukan cadangan dan milisi. Ushijima berusaha membuat sebuah keajaiban kecil dengan membentuk wilayah pertahanan lain, tetapi dia tahu bahwa ini hanya dapat bertahan sementara saja. Babak akhir telah mendekat.

Terlihat sekali rona keletihan di wajah pemimpin Jepang ini

Bahkan sekarang serdadu-serdadu Jepang sudah mengetahuinya. Penyebaran jutaan pamflet yang meyakinkan bahwa mereka akan diperlakukan adil, menyebabkan mereka mempertimbangkan untuk menyerah. Banyak yang menentang hal ini dan memilih bunuh diri. Tetapi untuk pertama kalinya selama masa perang, ratusan serdadu yang kotor dan compang camping keluar dari gua-gua dan berjalan ke arah garis pertahanan Amerika dengan tangan terangkat tinggi-tinggi di kepala. Akhirnya, 10.755 prajurit Jepang menyerah.

Keadaan Jepang sudah tidak ada harapan lagi. Jenderal Buckner menawarkan suatu penyerahan kepada Ushijima melalui sebuah surat yang dijatuhkan dari pesawat terbang. “Pasukan yang Anda pimpin telah bertempur dengan gagah berani dan baik,” kata Buckner, “dan siasat infanteri Anda patut mendapat penghargaan dari lawan Anda. Seperti saya sendiri, Anda adalah jenderal infanteri yang telah mendapat pendidikan lama dan pengalaman yang banyak dalam perang infanteri. Oleh karena itu saya percaya bahwa, seperti saya, Anda pun dengan jelas memahami bahwa kehancuran seluruh perlawanan Jepang di pulau ini hanya masalah waktu saja.”

Ushijima maupun Cho mengabaikan tawaran itu dengan anggapan bahwa sebagai samurai tidaklah sesuai dengan harga diri mereka mempertimbangkan tawaran itu. Kedua Jenderal itu sudah merencanakan mengakhiri hidupnya dengan berhara kiri yang kemudian dilakukan pada 22 Juni. Cho menulis kalimat untuk batu nisannya sendiri sebagai berikut : “Cho Isamu, Letnan Jenderal Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Umur; 51 tahun. Saya mati tanpa sesal, tanpa takut, tanpa malu dan tanpa salah.”

Hari kematian Ushijima, tanggal 22 Juni, menandai berakhirnya perlawanan Jepang yang terorganisasi di Okinawa. Namun masih 10 hari lagi diperlukan untuk pembersihan—tugas berbahaya mengumpulkan serdadu Jepang yang berkeliaran, melumpuhkan tawanan yang berusaha meledakkan diri dengan granat bersama penangkapnya, memeriksa gua dan terowangan yang diperiksa, membunuh serdadu yang lolos dan tidak mau menyerah.


Korban Jiwa

Dari catatan regu Registrasi Pemakaman, angka korban yang tercatat amat besar. Di pihak Jepang kira-kira 110.000 orang tewas dalam pertempuran darat, termasuk di antaranya 42.000 orang sipil. Kemenangan atas Okinawa telah menimbulkan kerugian di pihak Angkatan Darat dan Marinir Amerika dengan 7.613 orang tewas atau hilang dan 31.087 terluka. Selain itu, kerugian besar diderita juga oleh para pelaut dan penerbang Angkatan Laut yang telah menyediakan perbekalan, dukungan udara dan artileri selama tiga bulan lebih bagi kampanye di darat. Serangan kamikaze dan gempuran udara konvensional telah menewaskan 4.320 orang dan mencederai 7.312 personel Angkatan Laut.

Korban yang mengerikan dalam pertempuran Okinawa mengundang kemarahan publik Amerika: mereka menyalahkan “siasat yang ultra konservatif”. Jenderal McArthur, yang telah memimpin sebagian besar pertempuran Pasifik dengan korban minim, ikut bersuara dan menuduh komando Laksamana Nimitz ”mengorbankan ribuan serdadu Amerika karena mereka sebenarnya menghendaki pengusiran Jepang dari pulau itu” dan bukannya mengucilkan Okinawa selatan dan membiarkan pasukan Jepang di sana hancur sendiri.

Tetapi, berapa pun korban Amerika untuk merebut Okinawa, jatuhnya pulau itu merupakan pukulan berat bagi Jepang. Di Tokyo, pemerintah baru pimpinan Perdana Menteri Suzuki Kantaro terkesiap oleh kekalahan itu. “Perdana Menteri kini mengakui bahwa situasi perang ternyata lebih buruk daripada yang ia perkirakan,” demikian bunyi laporan diplomat Shigemitsu Mamoru. “Okinawa memberikan kepastian tentang akhir peperangan.” Sebenarnya, Okinawa telah memungkinkan para petinggi Jepang memikirkan dengan sungguh-sungguh apa yang sebelumnya tidak terpikirkan: kemungkinan mengirim utusan untuk menjajaki perdamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar