Rabu, 18 Mei 2011

Tan Malaka (Pahlawan Off The Record)


“Namun sejak orde baru, namanya (Tan Malaka) dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Tetapi dalam buku teks sejarah ia tidak boleh disebut. Atau menurut istilah seorang peneliti departemen sosial, Tan Malaka menjadi “off the record’ dalam sejarah Orde Baru” (Asvi Warman Adam)
Dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia menuju bangsa yang merdeka, Tan Malaka mempunyai posisi yang sejajar dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim. Namun sejarah sang penguasalah yang menengelamkan Tan Malaka ke dalam lumpur sejarah yang diciptakan oleh kekuasaan. Dalam konteks ini tidaklah berlebihan jika dikatakan “sejarah adalah milik orang yang berkuasa”.

Ketika sebuah rezim mulai menunjukan kuasa, maka dari segala arah para Hulubalang dan Pangrehpraja menunjukan kesetiaannya dalam aneka ragam bentuk. Mereka menciptakan sejarah dengan cara memanipulasi data dan argumen untuk kekuasaan itu sendiri. Peranan Soeharto yang mengecilkan peranan Sultan Hamengkubuwono IX dalam serangan umum atau terpublikasinya gambar “Soeharto bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam suatu upacara,” suatu contoh mungkin masih kita ingat. Tiadanya kebebasan intelektual yang membentengi kaum terdidik dalam menyatakan kebenaran sejarah. Jika pun terdapat “pahlawan” ia dapat dikalahkan oleh mesin politik kuasa. 32 tahun kuasa rezim Orde Baru berkuasa telah menebarkan ketakutan luar biasa -kuasa-Nya telah mengintimidasi nalar setiap orang (Zulhasril Nasir, 2007: vii). Seorang Tan Malaka telah dilenyapkan dari pentas sejarah oleh kekuasaan rezim Oder Baru, soalnya, dengan peristiwa testemen yang dilakukan oleh Tan Malaka terhadap Soekarno, ia mesti dilenyapkan dari memori rakyat. Walhasil, tidak tangung-tangung Tan Malaka seolah-olah diterkam zaman dan tengelam dalam hiruk pikuk pengkaburan sejarah oleh penguasa. Bahkan, dirahim tanah kelahirannya ‘Minangkabau’ kiprah Tan Malaka mulai redup dalam ingatan generasi Minang, siapakah yang salah?.

Dalam pentas perjuangan, Tan Malaka bukan saja seorang prajurit yang pernah mengangkat senjata menghapus telapak penjajah dari Indonesia. Tetapi unik, dalam epos perjuangannya, Tan Malaka telah melahirkan karya-karya yang luar biasa dan dalam petilasannya telah membuat kagum peneliti-peneliti dari mancanegara akan ketajaman pena-nya dan hujaman pikirannya yang menyentuh langit-langit perjuangan revolusinya. Dalam catatan dan masih bisa ditemui, ada beberapa karya briliant Tan Malaka yang masih menjadi referensi di Indonesia dan di mancanegara, seperti, Madilog, Merdeka 100 %, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Massa Aksi dan Uraian Mendadak. Tan Malaka sebagai seorang pejuang yang lahir dan dibesarkan dari rahim Minangkabau telah menorehkan sejarah perjuangan bangsa yang unik dan aktual akan selalu berbekas dalam memori generasi yang masih mau menerima, dan membaca siapa gerangan Tan Malaka.

Dalam pentas sejarah, Tan Malaka dinilai sebagai pahlawan nasional yang mempunyai mobilitas perjuangan yang tinggi dan terpanjang. Alasanya 30 (tiga puluh) tahun mobilitas perjuangan Tan Malaka tanpa henti, baik dalam negeri maupun diluar negeri dan tercatat berjuang dalam lintas internasional dalam rangka melakukan agitasi terhadap dunia, agar Indonesia merdeka 100%. Tercatat Tan Malaka pernah menginjakkan kakinya di dalam negeri, dari Pandan Gadang (Suliki), Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kendiri, Surabaya. Di luar negeri mulai dari Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Hampir tidak ada pahlawan nasional yang memiliki mobilitas sepanjang Tan Malaka, namun “kenapa dalam sejarah, ia dilenyapkan dari memori rakyatnya?.


Redup di Negeri Sendiri, Bercahaya di Negeri Orang
Adanya benarnya kata peneliti, bahwa Tan Malaka adalah pahlawan yang “off the record” dalam sejarah orde baru. Hal ini bertitik tolak dari literature yang terbilang minim mengkaji epos perjuangan Tan Malaka atau pun pemikiran-Nya. Sudah dipermaklumi, karena Tan Malaka di mata rezim Orde Baru adalah pemberontak yang ingin meruntuhkan negara Republik Indonesia dan serta merta yang berhubungan dengannya dilenyapkan dan dikaburkan oleh kekuasaan. Cap ‘seorang pemberontak’ bagi Tan Malaka bermula ketika Tan Malaka berupaya mendirikan Negara Demokrasi Indonesia pada momentum Belanda masuk ke Yogyakarta 19 Desember 1948. Ketika itu, diumumkan bahwa Soekarno-Hatta tertangkap. Dengan alasan bahwa Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada, Tan Malaka memproklamasikan berdirinya GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) di atas Gunung Kawi. Lahirlah kemudian Gerakan Kawi Pact yang bertujuan untuk meneruskan cita-cita komunisme ala Tan Malaka. Ia memproklamasikan berdirinya Negara Demokrasi Indonesia dengan dalih, bahwa pemerintah RI Soekarno-Hatta sudah tidak ada. Pengumuman berdirinya Negara Demokrasi Indonesia, sekaligus dilakukan dengan penunjukan dirinya sebagai Presiden, dengan mengangkat Kolonel Warrow sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima Besar GPP (Dalam Nur Hadi, 2006). Atas alasan inilah, Tan Malaka dicap sebagai pemberontak oleh rezim yang berkuasa dan siklusnya, Tan Malaka harus rela dipenggal dari pentas sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Di luar konteks di atas, seorang pahlawan yang berjasa dan telah turut andil dalam membangun cita-cita kemerdekaan, ia tidak akan pernah mati dalam mata sejarah, walau bagaimana pun kuasa menguburnya dalam lumpur, akan tetapi ia akan senantiasa bersinar menembus dalamnya lumpur buatan kekuasaan. Dan Tan Malaka yang dikubur oleh sejarah negeri sendiri, tetapi hidup dan bercahaya dinegeri orang lewat pena para sejarahwan yang objektif menilai dan mendalami ruang-ruang misteri perjuangan yang digubah oleh Tan Malaka.

Adalah Rudolf Mrazek yang mengukir Tan Malaka lewat bukunya “Tan Malaka a Political Personality’s Structure of Experience”, Kemudian Harry Poeze telah mengabadikan Tan Malaka lewat bukunya setebal 2194 halaman dan berharga 99,90 euro. “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949.” Dan menjelang tahun 1980-an, terjadilah arus balik penulisan sejarah Tan Malaka terutama di Eropa, Mulai dari Belanda dengan karya Harry Poeze, sampai ke Australia yang ditulis oleh Helen Jarvis. Penulisan sejarah Tan Malaka di luar negeri ini menjadi bukti bahwa Tan Malaka bercahaya di negeri orang, dan diredupkan di negeri-Nya sendiri.

Sesuai dengan hantaran di atas, maka pantaslah pertanyaan ini dilemparkan “Apakah Tan Malaka pahlawan Indonesia? Sebab terlalu besar mengangapnya menjadi pahlawan dari bangsa yang menganggapnya kecil.


Sumber: Amrclub 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar